Friday, September 17, 2010

Menggagas Psikologi Islami: Mendayung di Antara Paradigma Kemodernan dan Turats Islam

Melakukan sebuah pencarian ilmu menjadi sebuah tugas harian bagi para intelektual. Pemikiran-pemikiran keilmuan yang ada senantiasa dikaji, diteliti, dan diverifikasi, sehingga menghasilkan temuan-temuan baru yang kadang mencengangkan dunia. Dunia sains yang begitu hingar bingar memang telah memberikan sebuah kontribusi besar bagi peradaban dunia ini. Peradaban modern yang diawali dengan revolusi industri Inggris dan Perancis tahnu 1789 menjadi titik berangkatnya.
Di balik kecanggihan sains modern ternyata memiliki kontribusi terhadap munculnya diskrepansi dan dehumanisasi. Tentunya perlu ada semacam evaluasi terhadap ilmu, penggagas dan pengguna ilmu. Tak ayal muncullah apa yang disebut korupsi dalam ilmu pengetahuan yang diintrodusir oleh Arnold dalam bukunya The Corrupted Sciences: Challenging the Myths of Modern Science (1992). Ia menulis seperti ini tentang sains modern sekarang:
“Modern sciences and technologies are corrupt not because they are evils in themselves… but because many perceptions in, and methods of, science are wrong in theory and in practice, and because many scientists refuse to face the consequences of their work or make value judgements about its possible applications. Such an attitude makes technicians out of those who profess to practice science.”
Menurutnya, ada semacam ketidaksejalan antara teori dan praktek dan penolakan para ilmuwan menghadapi konsekuensi dari pekerjaan mereka. Kemudian ini menghasilkan apa yang ia sebut sebagai “dosa yang mematikan dari sains modern”. Paling tidak ada delapan “dosa” yang menurutnya saling berkaitan satu sama lainnya. Pertama, orientasi mekanistis dan materialis yang eksklusif, kebanyakan sebagai warisan dari agama-agama konvensional; kedua, keasyikan dalam beroperasi (’how’ things work) dengan melepaskan sebab dan akibatnya (’why’ things work).
Ketiga, spesialisasi yang berlebihan yang tidak berhubungan dengan persoalan global; keempat, hanya mengungkap “pengetahuan yang tampak” (revealed knowledge) untuk menciptakan hanya satu jenis pengetahuan; kelima, melayani vested-interest dan mode; keenam, dedikasi kepada pesanan-pesanan sesuai kebutuhan, dipublikasikan, disembunyikan atau dilenyapkan; ketujuh, kepura-puraan bahwa ilmu itu adalah bebas nilai; dan kedelapan, kebanyakan dari sains dewasa ini, sebagaimana agama-agama Barat dan filsafat Barat selama ini, tidak berpusat pada manusia. Enam “dosa” terakhir sebenarnya merupakan watak khas dalam ilmu-ilmu sosial, seperti juga dalam psikologi. Sehingga orang akan baru dikatakan sebagai ilmuwan jika dapat memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Misalnya dalam hal obyektifitas dalam penelitian, seorang peneliti diharuskan untuk menjaga jarak dengan obyek yang akan diteliti. Ini diperlukan agar muncul kenetralan dan tidak dicampuri oleh bias peneliti.
Berbagai macam usaha untuk memverifikasi bahkan memfalsifikasikan sebuah sains telah lama berkembang. Temuan-temuan baru tentang fenomena yang muncul dalam sains semakin memperkaya khasanah, dan di sisi lain semakin mengungkap hal-hal tersembunyi yang oleh beberapa saintis bisa jadi tidak masuk dalam kategori sains, baik sebagai obyek kajian maupun landasan paradigmatiknya. Misalnya, pemahaman kaum materialis terhadap sains yang menyatakan bahwa hal-hal yang materilah yang menjadi objek sains. Pertanyaan mengenai materi itu apa juga menjadi perdebatan tersendiri. Misalnya, mengenai proton yang disebut sebagai materi, padahal penampakan secara materi kasat mata, ia tak terlihat. Yang terlihat hanyalah jejak-jejak yang tertinggal di laboratorium.
Dalam Islam pun muncul semangat memunculkan kajian keilmuan dengan landasan paradigmatik dari Islam. Jika ditengok kembali ke sejarah, Islam memang pernah berjaya di sekitar abad 8-15 masehi. Saat itu bidang-bidang keilmuan dasar didalami secara serius oleh para ilmuwan dan cendekiawan muslim. Namun sejak dikuasainya Baghdad oleh pasukan Jenghis Khan, saat itulah mulai terjadi masa-masa gelap (dark age) di kalangan umat Islam. Ilmu-ilmu yang telah terkodifikasi rapi dalam manuskrip dan buku-buku, kemudian dibakar dan dilarung ke sungai Tigris.
Selain itu juga persinggungan orang-orang Eropa dengan ilmu-ilmu yang dikembangkan Islam tersebut ikut andil mengakselerasi kemampuan orang Eropa dalam penguasaan keilmuan yang gongnya adalah terjadinya revolusi industri pada abad ke-17.
Pergulatan Ide Sains dan Islam: Pandangan Beberapa Tokoh
Leif Stenberg dalam bukunya The Islamization of Science: Four Muslims Positions Developing an Islamic Modernity (1996) menyebutkan bahwa titik berangkat diskursus hubungan sains dan Islam adalah saat Ernest Renan (w. 1892) memulai perdebatan tahun 1883 di Paris yang kemudian direspon pertama kalinya oleh Jamaluddin al-Afghani (w. 1897). Menurut Renan antara Islam dan sains itu bertentangan (incompatible). Sejak saat itu kemudian perdebatan ini menjadi begitu kompleks khususnya di paruh abad kedua puluh.
Sorotan yang Stenberg lakukan adalah mengenai posisi empat tokoh yang ia sebut sebagai eksponen dalam usaha islamisai sains yaitu Ismail Raji’ al-Faruqi, Ziauddin Sardar, Maurice Bucaille, dan Sayyed Hoessein Nasr. Masing-masing tokoh ini oleh Stenberg dianggap memiliki beberapa pandangan yang berkaitan dengan isu hubungan sains dan Islam.
Al-Faruqi dikenal sebagai tokoh yang menggagas ide mengenai islamisasi pengetahuan (islamization of knowledge). Beliau kemudian mendirikan lembaga pemikiran keislaman dengan nama International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang memiliki misi islamisasi dengan langkah-langkah yang dibuatnya. Yang menarik dari gagasan Faruqi adalah bahwa usaha islamisasi mesti ada penguasaan yang cukup komprehensif antara khasanah keilmuan modern dan khasanah keilmuan Islam klasik (mastering of modern and islamic sciences). Ilmuwan muslim mesti kritis terhadap ilmu-ilmu yang dikembangkan Barat, dan kemudian melakukan sebuah integralisasi keduanya. Ini ditujukan untuk mendapat sebuah model penguasaan ilmu dengan perspektif Islam dengan tetap tidak “kuper” dengan pengetahuan modern yang ada. Dari situlah kemudian akan menghasilkan model kurikulum dan pendidikan dalam perspektif Islam. Dan inilah yang menjadi ultimate goal gagasan islamisasi pengetahuan ala Faruqi.
Islamisasi pengetahuan, menurut Taha Jabir al Alwani, mesti dipahami sebagai sebuah kerja ilmiah dari sudut pandang metodologis dan epistemologis. Ia bukan sebagai ideologi atau bahkan sebuah sekte baru. Ini mesti dipahami terlebih dahulu. Sebab kalau tidak, orang yang menggelutinya akan terjebak pada ideologisasi ilmu, dan akan sangat berbahaya nantinya. Ilmu yang mengideologi akan sulit berkembang biak.
Sementara ‘Imad al Din Khalil memandang islamisasi pengetahuan sebagai keterlibatan dalam pencarian intelektual (an intellectual pursuits) yang berupa pengujian (examination), penyimpulan, penghubungan, dan publikasi dalam memandang hidup, manusia dan alam semesta dari perspektif Islam. Sementara Abu al Qasim Hajj Hammad mendefinisikan islamisasi pengetahuan sebagai pemecahan hubungan antara pencapaian ilmiah dalam peradaban manusia dan perubahan postulat-postulat filosofis, sehingga ilmu itu dapat digunakan melalui metodologi yang bernuansakan religius tinimbang yang spekulatif.
Sementara Sardar menekankan penguasaan epistemologis dalam membangun kerangka sains atau pengetahuan Islam. Sehingga menurutnya sains islami masih harus dikonstruksi setelah membongkar sains modern yang ada. Sedangkan Sayyed Hossein Nasr berpandangan bahwa sains tradisional Islam di masa lalu sebagai sains islami.
Secara umum, menurut Stenberg, keempat tokoh yang menjadi objek studinya ini memiliki kesamaan gagasan dalam melakukan restorasi hubungan sains dan Islam. Islam, menurut mereka, sama sekali tidak ada yang salah. Yang terjadi adalah tidak teraplikasikannya konsep-konsep Islam dalam kehidupan nyata.
Selain tokoh-tokoh di atas yang umumnya berasal dari luar Indonesia, ada juga tokoh-tokoh Indonesia yang mencoba membincangkan ide ini, meskipun dengan pola dan perspektif yang berbeda-beda dalam pembahasannya. Tokoh-tokoh ini umumnya memiliki pola pandang sama bahwa Islam dan sains memiliki titik temu, namun darimana dan bagaimana memulainya serta metodologi yang digunakan masing-masing memiliki pandangan sendiri.
Kuntowijoyo, misalnya. Beliau menggunakan istilah objektifikasi Islam. Awalnya istilah ini digunakan sebagai pisau analisis dalam melihat perkembangan politik aliran di Indonesia. Menurutnya objektifikasi adalah memandang sesuatu secara objektif dan disebutnya sebagai jalan tengah bagi Islam, agama-agama, dan aliran pemikiran politik lainnya. Ada tiga hal yang digunakannya dalam melihat objektifikasi Islam ini yaitu (1) artikulasi politik hendaknya dikemukakan melalui kategori-kategori objektif, (2) pengakuan penuh kepada keberadaan segala sesuatu yang ada secara objektif, dan (3) tidak berpikir kawan lawan, melainkan pada permasalahan bersama.
Relevansinya dengan ide relasi sains dan Islam adalah bahwa tetap mengedepankan objektifitas dalam melangkah, meskipun ada simbol agama di situ. Dan pemikirannya yang ketigalah yang menurut saya perlu menjadi titik perhatian dalam pengembangan relasi sains atau pengetahuan dalam Islam. Pengembangan pengetahuan dalam Islam tidaklah memandang bahwa pengetahuan di luar Islam sebagai musuh yang harus dibasmi.
Kemudian ada lagi Armahedi Mahzar. Beliau menawarkan lima langkah integralisasi strategis yang digunakan dalam mewujudkan apa yang ia sebut sebagai sains islami itu. Kelima langkah itu adalah (1) analisis struktur internal sains, (2) analisis dampak eksternal negatif sains, (3) analasis kritis fondasional sains, (4) reorientasi holistik paradigma sains, dan (5) integralisasi islami paradigma sains.

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...