Thursday, September 16, 2010

Akal Manusia

Akal dalam pandangan Islam diletakkan pada tempat yang layak, tidak meninggikannya hingga menjadi sesuatu yang dipertuhankan, tetapi juga tidak direndahkan atau dihinakan hingga penyandangnya tak ubahnya seperti hewan. Berkata Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari, Islam telah menunjukkan beberapa fenomena penghormatan terhadap akal; diantaranya dalam menegakkan dakwah kepada iman berdasarkan kepuasan akal.
Dalam hal ini Islam mengarahkan untuk berpikir dan mengamati, perhatikan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala berikut, yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS: An-Nisaa’:82)Islam juga menantang akal manusia agar mendatangkan kitab semisal al-Qur’an. Diharapkan dengan ketidakmampuan akal manusia untuk mendatangkan kitab semisal al-Qur’an, manusia mau mengakui bahwa al-Qur’an benar-benar datang dari sisi Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Qur’an itu jika mereka orang-orang yang benar.” (QS: ath-Thuur:34)
Selain itu, akal juga diarahkan untuk memikirkan makhluk-makhluk Alloh (al-Qur’an Surah Ali Imran: 191; ar-Ruum: 8), untuk memikirkan syari’at Alloh Subhanahu wa Ta’ala (al-Baqarah: 179, 184 dan al-Jumu’ah: 9), untuk mengamati umat-umat terdahulu dan mengapa mereka durhaka (al-An’am: 6,11) dan juga diarahkan agar akal manusia mau memikirkan kejadian-kejadian alam dan kehidupan sekitarnya (al-Kahfi : 45).
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: “Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka ? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang berada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Rabb-nya” (QS: ar-Ruum: 
Fenomena lainnya dalam menghormati akal, Islam tidak pernah memaksakan kehendak (dogmatis-red), tidak memaksakan rasio seseorang untuk beriman. Namun, diberikan padanya kebebasan memilih, iman atau kufur (QS: al-Baqarah: 256, al-Kahfi: 29, al-Ghassiyah: 21-22). Bukti lain fenomena penghormatan terhadap akal, yakni adanya celaan terhadap para Muqallidin (orang-orang yang taqlid), adanya perintah untuk senantiasa belajar, adanya ijtihad, adanya perintah memelihara akal dan larangan untuk merusaknya. Semua itu menunjukkan, betapa Islam begitu menghormati akal.
Meski penghormatan Islam terhadap akal sedemikian besar, bukan berarti seseorang lantas semaunya mempergunakan akal, seseorang lantas diperbudak oleh akalnya sendiri. Hingga, setiap masalah dihadapi hanya oleh kekuatan akalnya. Terlebih dalam masalah yang berkaitan dengan agama. Contoh kasuistik yang telah begitu lekat dalam perjalanan sejarah Islam dalam masalah dominasi akal, adalah aliran Mu’tazilah atau Neo Mu’tazilah sebagai pewaris leluhurnya di masa sekarang. Kelompok satu ini berprinsip bahwa naql (wahyu/nash) tidak boleh bertentangan dengan akal. Oleh karena itu, setiap masalah syari’at bisa dicerna oleh akal. Dan jika ada suatu nash yang nampak (menurut mereka) bertentangan dengan akal, niscaya mereka akan mena`wilkan nash tersebut, sehingga selaras dengan akalnya. Pola pikir semacam inilah yang akhirnya menjungkir balikkan nash-nash yang telah dipahami dan diyakini oleh para salafu al-ummah dulu. Dari pola pemahaman yang demikian, lantas lahir beragam ta`wil, yang pada hakekatnya menafikan sifat-sifat Allah, nikmat dan adzab kubur, surga dan neraka, qadar Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan sebagainya.
Pengikut manhaj Rosululloh dan Shohabatnya yang sholeh menjadikan akal tunduk kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dari sini maka akal yang sehat tidak mungkin bertentangan denagn naql (nash) yang shahih. Apabila terjadi pertentangan (menurut akal-red) maka nash yang shahih harus didahulukan atas akal, sebab nash-nash al-Qur’an bersifat ma’shum (terjaga) dari kesalahan, dan nash-nash sunnah bersifat ma’shum (terjaga) dari hawa nafsu. (Sedangkan akal tidak-red)
Sesuatu yang masuk akal menurut Islam adalah sesuatu yang sesuai dengan al-kitab was-sunnah, sedangkan sesuatu yang tidak masuk akal (majhul) adalah sesuatu yang menyalahi al-Qur’an  dan As Ssunnah. Petunjuk adalah sesuatu yang selaras dengan manhaj shahabat, dan tidak ada jalan lain untuk mengenali petunjuk serta pola-pola shahabat melainkan atsar-atsar ini.
Menghadapi suatu nash, khususnya yang berkenaan masalah aqidah, tanpa melalui perbincangan panjang lebar atau menggunakan akal yang dipaksakan. Tetapi cukup dengan mengimani dan membenarkannya. Memperbincangkan dengan tanpa landasan yang benar, apalagi hanya sekedar dengan akal, tak akan membawa faedah.
Demikianlah sikap yang patut menjadi teladan dalam mengimani ayat-ayat Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan hadits shahih dari Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Mudah-mudahan Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan petunjuk kepada kita semua. Dan hanya kepada Alloh-lah segala urusan dikembalikan. Wallahu ‘Alam.

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...