Sunday, June 10, 2012

Bentuk Tubuh Ideal, Terhindar dari Depresi


Bahagia dengan Bentuk Tubuh, Terhindar dari Depresi
Ilustrasi (stock.xchg)
Amerika Serikat, Psikologi Zone – Banyak kalangan remaja terutama perempuan, menganggap bentuk tubuh dan berat badan adalah aspek penting bagi diri mereka. Bila berat badan naik atau bahkan terlalu kurus, tidak jarang remaja perempuan ini mengalami stres. Hal ini semakin diperparah dengan fakta sebuah penelitian baru di Amerika Serikat mengatakan, gadis remaja yang cenderung merasa puas pada berat dan bentuk tubuh memiliki tingkat harga diri yang lebih tinggi.
Penelitian ini dilakukan oleh Kerri Boutelle, seorang profesor psikiatri dan pediatri di University of California, San Diego, School of Medicine.
Ia mengatakan, penelitian ini mengambil 103 gadis remaja yang memiliki kelebihan berat badan dari data survei antara tahun 2004-2006.
Para remaja ini dinilai dari berbagai faktor seperti kepuasan diri pada tubuhnya, penghargaan diri, gejala kecemasan dan depresi, serta perilaku mengontrol berat badan.
“Kami menemukan bahwa gadis remaja yang sangat puas pada tubuhnya cenderung tidak melakukan kontrol perilaku untuk berat badan yang buruk seperti, berpuasa, mengurangi makan atau memuntahkan makanan,” kata Boutelle, Senin (30/4).
Boutelle menjelaskan, hubungan positif yang diperlihatkan dalam penelitian ini dapat membantu intervensi gadis remaja yang mengalami depresi dan kecemasan karena kelebihan berat badan. Meningkatkan kepuasan diri pada berat dan bentuk badan adalah salah satu kuncinya.
Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Adolescent Health tersebut juga menunjukkan, gadis remaja yang cenderung puas dengan bentuk tubuh, tidak mudah terkena depresi atau perilaku tidak sehat lainnya.
“Fokus penelitian ini terletak pada peningkatan citra diri (self-image) sekaligus memberikan motivasi dan kemampuan dalam mengontrol berat badan yang efektif, dimana dapat membentuk melindungi gadis remaja dari depresi, kecemasan atau kemarahan yang kerap kali berhubungan dengan kelebihan berat badan,” papar Boutelle. (upi/mba)
sumber: psikologizone.com

Wow, Galau Bisa Menyebabkan Gangguan Kejiwaan

Galau Bisa Menyebabkan Gangguan Kejiwaan
Ilustrasi (stock.xchg)
Jakarta, Psikoloi Zone – Miris, galau sudah menjadi tren bagi kalangan remaja di Indonesia. Padahal galau yang memiliki intensitas yang terlalu sering, bisa mengakibatkan gangguan kejiwaan pada remaja. Gangguan tersebut dinamakan dengan bipolar, yaitu sebuah bentuk gangguan jiwa yang bersifat episodik atau berulang dalam jangka waktu tertentu. Gangguan ini biasa dimulai dari gejala perubahan mood (suana hati) dan bisa terjadi seumur hidup. “Remaja yang dikenal sedang mengalami masa-masa galau, memang sangat mudah terserang depresi,” ungkap Dr A. A. Ayu Agung Kusumawardhani, SpKJ(K) Kepala Departemen Psikiatri RSCM.
Seseorang harus jeli melihat gejala bipolar sebagai bentuk penyesuaian diri atau sudah merupakan episode depresi.
“Kita harus lihat apakah itu hanya berupa penyesuaian diri pada keadaan atau kah sudah merupakan episode depresi,” kata Agung saat dalam seminar ‘Gangguan Bipolar: Dapatkah Dikendalikan?’ di Hotel JW Marriott Jakarta, Rabu (25/4).
Episode depresi biasa terjadi pada penderita bipolar, minimal setiap hari selama dua minggu.
“Hal ini dapat terlihat dari perilakunya, yang tidak mau bertemu dengan orang-orang, pesimistik, memikirkan sesuatu yang nihilistik, maka kemungkinan untuk dapat terpicu bipolar 30 persen,” papar Agung.
Perlu dibedakan antara depresi reaktif dan depresi pada gangguan bipolar. Tentu cara membedakannya dengan melakukan serangkaian tes tertentu. Hal ini diucapkan oleh dr.Handoko Daeng, SpKJ(K) Ketua Seksi Bipolar Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), yang saat itu hadir dalam acara seminar.
“Jenis depresi yang berbeda, karena setiap orang pasti dapat merasakan sedih dan pesimis. Namun bila itu terjadi terus menerus atau disebut sebagai episode depresi, maka perlu dikhawatirkan,” jelas Daeng.
Beberapa masalah lain yang perlu diperhatikan adalah gangguan bipolar bisa mengakibatkan bunuh diri bagi penderitanya. Angka bunuh diri yang diakibatkan gangguan bipolar 20 kali lebih tinggi dibanding angka bunuh diri dalam populasi umum tanpa gangguan bipolar, yaitu 21,7 persen dibanding satu persen.
Ia mengatakan, bila dibandingkan dengan penderita skizofrenia, bipolar juga 2-3 kali berpotensi melakukan tindakan bunuh diri. Ada sekitar 10 hingga 20 persen penderita bipolar mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, dan 30 persen lainnya pernah mencoba bunuh diri. (ant/mba)
sumber: psikologizone.com

Waspada ini, Jumlah Anak Stres Semakin Meningkat

Waspada, Jumlah Anak Stres Semakin Meningkat
Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas PA (google)
Jakarta, Psikologi Zone – Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menerima rata-rata 200 laporan kasus per bulan sepanjang tahun 2011, meningkat 98 persen dari tahun sebelumnya. laporan ini turut mengindikasikan adanya peningkatan gangguan stres pada anak di Indonesia. Peningkatan jumlah anak yang mengalami gangguan stres diketahui banyak penyebab. Komnas PA mencatat, 82,9 persen penyebab anak stres justru berasal dari kurangnya komunikasi antara anak dan orang tua. Apalagi diperparah dengan sikap Orang tua yang cenderung memforsir tenaga anak dalam rutinitas padat, sehingga hak bermain dan berkreasi menjadi hilang.
“Jangan remehkan ini, sudah tercatat sebanyak lima anak dibawah 10 tahun berusaha melakukan pencobaan bunuh diri akibat stress. Dua diantaranya telah meninggal,” kata Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas Perlindungan Anak, Selasa (20/3).
Kebijakan pemerintah diketahui ikut menyumbang penyebab anak di Indonesia mengalami stres. Hal ini diketahui melalui banyak kurikulum pendidikan yang dirasa berat dan tidak pasti bagi anak-anak. Anak akan mengalami kebimbangan dan berujung pada stres.
Sumber stres yang tidak kalah penting adalah persepsi masyarakat yang berpatokan pada kepintaran, membuat orang tua berbondong-bondong menstimulasi anak mereka hingga berlebihan.
“Orangtua memiliki kontribusi stres pada anak, Orang tua juga memiliki andil besar terhadap tumbuh kembang anak-anaknya, bukan orang lain,” ungkap Arist.
Arist menyarankan, orang tua sebaiknya tidak menganggap anak sebagai milik mereka, namun anak adalah titipan tuhan yang harus ditempatkan secara adil bukan semau orang tua.
“Orangtua masih banyak yang diskriminatif terhadap anak, dan lebih mengedepankan hukuman,” ungkapnya.
Solusi menangani anak stres tidak cukup dengan mengurangi tekanan mentalnya. Orang tua perlu untuk mulai membiasakan diri bersahabat dengan anak.
“Orangtua juga perlu minta maaf jika bersalah atau tak memenuhi janji misalnya. Saat minta maaf, posisikan kepala sejajar dengan anak, ucapkan maaf dengan mensejajarkan diri dengannya,” kata Arist memberi contoh. (kmp/ant/mba)
sumber: psikologizone.com

Psikosomatis, Gangguan Psikis yang Pengaruhi Kesehatan Fisik


Psikosomatis, Gangguan Psikis Pengaruhi Kesehatan Fisik
Ilustrasi (allaccesslive)
Jakarta, Psikologi Zone – Psikosomatis merupakan gangguan psikis yang mampu menyebabkan gangguan dalam bentuk fisik. Orang yang mengeluhkan kondisi fisik, namun setelah dilakukan pemerikasaan medis tidak ditemui penyebab fisiologis. Pemicu sebenarnya adalah stres dan depresi yang tidak disadari. “Secara umum, sebenarnya semua penyakit adalah psikosomatis. Artinya, setiap penyakit memiliki pendekatan psikosomatis atau sering dikenal sebagai biopsikososial,” ungkap Dr Andri, SpKJ, Pengajar Psikiatri di Fakultas Kedokteran UKRIDA, Sabtu (31/3).
Setiap penyakit memiliki sisi biologi, psikologi dan sosial. Penderita yang pernah mengalami penyakit stroke, rentang mengalami depresi, namun depresi itu sendiri bisa kembali menyebabkan stroke. Siklus ini akan tetap ada sepanjang seseorang tidak bisa mengontrol kondisi psikis.
“Kasus ini sering dialami dan terjadi juga pada keluarga saya. Om saya mengalami gejala depresi setelah kena stroke sehingga terkena stroke lagi dan akhirnya meninggal saat kena stroke yang kedua. Jadi, kami melihat gangguan jiwa itu sangat erat hubungannya dengan gangguan fisik,” kata dr Andri.
Sampai saat ini masih belum ada dokter atau pasien yang menyadari akan adanya pengaruh kondisi kejiwaan dengan munculnya penyakit medis.
Dr Andri bercerita pernah menangani pasien yang sudah 5 tahun mengalami gejala psikosomatis, namun keluhan itu berpindah-pindah, dari jantung, paru-paru dan seterusnya. Pengobatan medis dilakukan hingga ke luar negeri, namun tidak ditemui penyebab fisiologis. Ternyata, penyebab keluhan fisik tersebut diketahui dari kondisi kejiwaan yang terganggu.
“Dasar gangguan psikosomatis itu kan depresi dan cemas. Akhirnya pasien tahu kalau sistem otak kacau, maka pikiran, perasaan dan perilaku juga ikut ngaco. Sistem otak kacau karena disebabkan stres, stres itu disebabkan lingkungan dan genetik. Gangguan ini berputar-putar dan kita harus memotong siklus itu,” papar dr Andri. (dtk/mba)
sumber: psikologizone.com

Wow, Ternyata Saat Frustasi Orang Juga Tersenyum Lho


Saat Frustasi Orang Juga Tersenyum
Ilustrasi (stock.xchg)
Amerika Serikat, Psikologi Zone – Sebuah penelitian baru menemukan bahwa saat orang frustasi, mereka biasa tersenyum. Apakah Anda termasuk salah satu dari mereka? Ihsan Hoque, seorang peneliti dari Massachussets Institute of Technology, merancang sebuah program komputer yang dapat mengungkapkan perbedaan antara senyum kesenangan atau senyum dari bentuk frustasi. Program tersebut dapat mengidentifikasi emosi penggunanya dan akan memberikan respon. Hasil penemuan ini diharapkan mampu membantu banyak tenaga profesional dalam memahami ekspresi orang autistik.
Penelitian ini diujicobakan oleh peneliti MIT Media Lab, para peserta diminta untuk mengeluarkan ekspresi kegembiraan atau frustasi, webcam kemudian akan merekam ekspresi mereka.
Pertama, para peserta diminta untuk mengikuti tes online yang dirancang untuk membuat mereka mengalami frustasi dan menonton video lucu untuk menciptakan respon kegembiraan.
Saat peserta diharuskan untuk pura-pura mengalami frustasi, 9 dari 10 peserta tidak tersenyum. Hal yang berbeda saat mereka benar-benar mengalami frustasi, sebanyak 90 persen dari mereka justru tersenyum.
“Penelitian ini mungkin menjadi awal pengetahuan untuk mengetahui hubungan senyuman dalam ekspresi emosi negatif. Ini menunjukkan pada kita bahwa tidak semua senyum bersifat positif,” papar Psikolog Prof Jeffrey Cohn, dari University of Pittsburgh, salah satu peneliti dalam studi tersebut, dikutip The Telegraph (28/5). (tgj/mba)
sumber. psikologizone.com

Wednesday, June 6, 2012

Baby Blues & Postpartum Depression


 
Oleh: Novita Indriasari Psi.
Bagi para ibu, kelahiran seorang anak sebetulnya tidak sesederhana seperti yang terlihat. Sebaliknya, kelahiran seorang anak (khususnya, anak pertama) biasanya membanjiri ibu dengan sejumlah peristiwa baru, terutama terkait dengan perubahan peran dan gaya hidup dalam kehidupan pasangan suami istri, serta perubahan identitas—sebagai ayah dan ibu. Bagi seorang perempuan, pengalaman menjadi seorang ibu merupakan hal yang seringkali dinantikan. Namun ternyata perubahan peran tersebut tidak selalu menimbulkan perasaan-perasaan yang menyenangkan.
Adakalanya perasaan tidak menyenangkan muncul saat kelahiran anak, seperti merasa cemas, panik, dan bahkan menjadi tidak bersemangat. Hal ini dapat terjadi karena persalinan merupakan peristiwa yang melibatkan kondisi emosional yang cukup kuat dan hormon-hormon dalam tubuh ibu pun mengalami perubahan drastis. Kondisi ini dialami oleh  sekitar 40-85% wanita yang baru mengalami persalinan (*Baca bagian “insert” di bawah untuk mengetahui ciri-ciri ibu yang lebih rentan terkena Baby Blues Syndrome). Oleh karena itu, wanita yang baru menjadi seorang ibu perlu menyesuaikan dirinya—secara psikologis dan fisik untuk menghadapi tuntutan yang ada.  Tanpa dukungan orang-orang terdekatnya seperti suami, keluarga dan teman, ibu yang mengalami kesulitan beradaptasi dengan peran barunya bisa membahayakan bayi dan dirinya sendiri (Kauppi, Kumpulainen, Vanamo, Merikanto dan Karkola, 2008).
Lalu kondisi negatif apa saja yang mungkin dialami oleh ibu baru selama penyesuaian diri? Mari kita kenali lebih lanjut kondisi serta perasaan tidak menyenangkan yang cenderung muncul pada wanita yang baru saja melahirkan anak pertamanya.
Baby blues, pernahkah kamu mendengar istilah ini? Baby blues merupakan suatu kondisi yang dirasakan oleh wanita yang baru melahirkan dan umumnya masih tergolong normal dan belum berbahaya, serta berlangsung hanya selama dua minggu setelah persalinan. Hal ini terjadi karena ibu sedang berupaya menyesuaikan diri dengan peran barunya. Hal-hal yang dapat memicu munculnya baby blues syndrome adalah kebingungan saat mendengar tangisan bayi (dan mengartikannya), rasa nyeri saat memberikan ASI, ataupun karena terganggunya waktu tidur yang biasanya normal.
Saat ibu telah dapat menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut, maka kondisi emosi yang cenderung negatif tersebut akan menghilang perlahan-lahan. Kondisi baby blues ini dapat perlahan-lahan menghilang jika ibu mendapatkan dukungan—emosional maupun dalam pengasuhan anak—dari pasangan, keluarga, dan teman-temannya. Selain itu, perhatian dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh pasangan, berupa pelukan, ciuman, serta kata-kata yang menenangkan, juga akan dapat membuat seorang ibu merasa tenang, aman, dan nyaman.
Lalu bagaimana jika kondisi baby blues tidak menghilang dalam waktu sekitar dua hingga tiga minggu setelah persalinan dan justru bertambah parah? Kondisi ini dinamakan Postpartum Depression. Jika hal tersebut terjadi dan ibu mengalami sejumlah emosi negatif yang tampak dalam perubahan perilaku yang tidak seperti biasanya—misalnya sering menangis, sedih yang berkepanjangan, sering merasa marah, mengalami masalah tidur dan makan, kelelahan yang berlebih, kehilangan minat dalam mengasuh anak atau merasa tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengasuh anak, kehilangan semangat dalam melakukan aktivitas menyenangkan, kecemasan, dan/atau bahkan memiliki pikiran-pikiran yang cenderung buruk sehingga ada keinginan untuk membahayakan diri sendiri atau bayinya—maka ibu perlu mendapatkan perhatian khusus dan penanganan yang tepat. Segera sampaikan kondisi yang dialami tersebut kepada orang-orang terdekat atau kepada pihak profesional (psikolog, dokter yang menangani selama kehamilan dan persalinan).
Semakin cepat kondisi tersebut disadari dan ditangani, semakin mudah bagi ibu untuk melewati masa-masa ini. Ingatlah bahwa kondisi yang demikian merupakan kondisi medis dan bukan tanda dari kelemahan seorang wanita, sehingga ibu tidak perlu merasa malu jika mengalami kondisi yang tidak menyenangkan tersebut!
Lalu, apa saja yang dapat dilakukan oleh ibu dan orang-orang disekitarnya saat menemukan bahwa gejala postpartum depression sedang terjadi? Pertama, berikanlah dukungan sosial dan emosional yang dibutuhkan ibu! Ibu dapat membicarakan perasaan-perasaan dan kekhawatiran ataupun ketakutan yang dimiliki secara terbuka kepada orang-orang terdekat, seperti suami, keluarga, ataupun teman. Selain itu, ibu atau orang terdekatnya dapat mencari informasi mengenai kelompok-kelompok yang memiliki pengalaman serupa (support group) sehingga sang ibu dapat berbagi pengalaman dengan mereka. Dan pastikan, ibu mendapatkan bantuan dari pihak profesional sehingga ia pun bisa mendapatkan penanganan dan perawatan yang dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi yang dialaminya. Jadi, Ibu tidak perlu ragu untuk mendatangi pihak-pihak professional untuk membicarakan masalah yang sedang dialami.
“Mom you deserve to be happy and enjoy your parenting-life! Get whatever help you need.”
Insert:
Siapa sajakah ibu yang lebih beresiko mengalami Postpartum Depression, dan bukan hanya baby-blues syndrome? Berikut adalah ciri-cirinya, kita yang memiliki teman dengan ciri-ciri ini perlu untuk sedikit lebih waspada:
  • Pernah mengalami depresi atau postpartum depression sebelumnya.
  • Ibu yang baru pertama kali memiliki anak.
  • Dalam keluarganya, pernah ada yang memiliki gangguan psikologis.
  • Pernah menggunakan narkoba dalam hidupnya.
  • Mengalami komplikasi saat kelahiran.
  • Kekurangan tidur.
  • Bayi yang dilahirkan ternyata memiliki masalah kesehatan yang cukup serius.
  • Tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari keluarga.
  • Mudah stress.
Apa yang bisa dilakukan keluarga dan teman untuk membantu ibu yang mengalami Postpartum Depression:
  • Memintanya untuk jangan sungkan bercerita mengenai apa yang dirasakan.
  • Memberi bantuan dalam perawatan bayi.
  • Menganjurkan (dan menyediakan) makanan yang sehat dan berenergi.
  • Mengajak untuk banyak berolahraga. Jika masih dalam tahap penyembuhan, jalan ringan adalah pilihan olahraga yang tepat.
  • Mencarikan support-group dari orang-orang yang pernah mengalami postpartum depression.
  • Mengajak ibu untuk bertemu dengan psikolog.
Tentang penulis:
Novita Indriasari Psi. atau yang lebih akrab disapa dengan Opie adalah Psikolog muda lulusan Universitas Indonesia. Saat ini dia bekerja sebagai Associate Psychologist di ADR Advisory. Follow twitter Opie di sini.
Sumber:
Bennet, Shoshana. (2009). Baby blues or postpartum depression? PsychologyToday.com. Diambil Mei 1, 2012 dari http://www.psychologytoday.com/blog/mommy-mental-health/200902/baby-blues-or-postpartum-depression.
Bennet, Shoshana. (2009). Helping your loved one with postpartum depression. PsychologyToday.com. Diambil Mei 1, 2012 dari http://www.psychologytoday.com/blog/mommy-mental-health/200901/helping-your-loved-one-postpartum-depression
Marano, Hara Estroff. (2002). Birth and the blues. PsychologyToday.com. Diambil Mei 1, 2012 dari http://www.psychologytoday.com/articles/200209/birth-and-the-blues?page=2
Levy, Mark. (2002). Moms who kill. PsychologyToday.com. Diambil Mei 1, 2012 dari http://www.psychologytoday.com/articles/200212/moms-who-kill
Barsky, Ilyene. (2009). Postpartum depression and the couple. Psychology.com.  Diambil Mei 1, 2012 dari http://www.psychology.com/articles/?p=101
Dorlen, Rosalind.
Formichelli, Linda. (2001). Baby Blues: a mother’s worries during pregnancy can affect brain development in her child. PsychologyToday.com. Diambil Mei 1, 2012 dari  http://www.psychologytoday.com/articles/200103/baby-blues

Tuesday, June 5, 2012

Jurus Jitu Perpanjang Umur


By: Ramadion Syam
Berencana untuk menikmati hidup sampai umur 80 tahun atau lebih? Tentu kita harus berolahraga secara rutin dan menjaga pola makan kita. Tetapi, selain dua tips “klasik” tersebut, psikologi menemukan banyak cara bagi kamu untuk makin memperpanjang umurmu. Ini dia beberapa hal-hal sederhana yang ternyata memberikan dampak besar bagi kesehatanmu:
  • Pergi Liburan
Ini adalah tips khusus bagi mereka yang sudah bekerja. Ternyata, selain menambahkan koleksi foto liburan, pergi cuti dan menghabiskan waktu di tempat wisata dapat mengurangi efek buruk dari kerja keras kita setiap hari di kantor. Stress yang didapatkan di tempat kerja diketahui dapat menurunkan kondisi kesehatan jantung, karena tekanan yang disebabkan oleh pekerjaan memicu detak jantung diatas normal. Pada saat liburan, pemandangan indah yang ditangkap mata akan membuat jantung kita lebih rileks (Gump, 2012). Jantung dapat mengistirahatkan sebentar otot-ototnya yang tegang saat deadline mendera dan atasan memarahi kita. Bahkan, pada saat kita sudah kembali dari cuti, mengingat pemandangan pantai yang kita datangi terbukti dapat mengurangi stress (Liebertz, 2005). Menurut Wednesday Martin Ph.D (2010), jumlah cuti yang optimal adalah 20 hari selama setahun.

  • Carilah Teman Baik
Tahukah kamu bahwa mereka yang memiliki beberapa teman baik ternyata lebih jarang terkena flu? Penelitian yang dilakukan oleh Lissa Rankin (2012) saat menulis bukunya, Mind Over Medicine, membuktikan bahwa orang yang memiliki teman baik ternyata memiliki otak yang lebih sehat, umur yang lebih panjang, lebih kuat bertahan saat menghadapi kanker payudara dan lebih kuat bertahan saat menghadapi penyakit jantung. Ternyata teman baik memang sangat berharga, ya?
  • Memiliki Hobby
Musuh terbesar dari masa tua adalah terjatuh karena koordinasi tubuh yang sudah berkurang. Salah satu cara untuk mencegah hal ini adalah dengan mengasah kapasitas kognitif kita agar tidak pikun. Penelitian menemukan bahwa mereka yang memiliki hobi dapat mempertahankan ketajaman pikiran mereka lebih lama (Papalia, Olds & Feldman, 2008). Karena, menyibukkan diri dengan sesuatu yang kita sukai akan membuat otak kita terlatih. Jadi, mungkin ini adalah saatnya kamu membeli tanaman untuk mulai berkebun, mengkoleksi puzzle atau membeli mainan “merakit perahu/pesawat mainan”.

  • Merawat Hewan Peliharaan
Walaupun masih menjadi perdebatan, beberapa penelitian menemukan bahwa orang yang mempunyai hewan peliharaan secara signifikan memiliki hidup yang lebih sehat (McConnell, 2011). Alasannya adalah kesetiaan hewan peliharaan bisa menjadi support sosial bagi pemiliknya. Orang-orang yang memiliki hewan peliharaan terbukti memiliki self-esteem yang lebih tinggi, memiliki relationship style yang lebih positif, lebih sehat secara fisik dan lebih sejahtera secara psikologis.

  • Cintai Kehidupan
Pernahkah kamu menjagai kerabat yang sudah sakit keras, tapi masih bertahan karena menunggu anaknya yang sedang di luar kota untuk pulang ke rumah? Ini adalah salah satu bukti bahwa memiliki alasan untuk hidup akan memberikan kekuatan lebih bagi tubuh untuk bertahan (Coyne, 2011). Prinsip yang sama juga berlaku bagi mereka yang sehat. Orang yang mencintai kehidupan, yang memiliki sebuah tujuan dalam hidup, akan lebih kuat dalam menghadapi sakit dan masa-masa sulit.
  • Menangislah Saat Sedih
Datang dikala kita lemah, air mata ternyata memiliki begitu banyak kekuatan. Menangis adalah cara bagi tubuh untuk melepaskan ketegangan dari stress, kesedihan, kecemasan dan frustrasi (Orloff, 2010). Dengan menangis, emosi negatif yang kita rasakan akan tersalurkan dan tidak menumpuk sebagai tekanan yang dapat menimbulkan penyakit. Secara psikologis, air mata kesedihan juga menjadi cara bagi tubuh untuk membuang hormon stress, racun biologis yang menumpuk pada saat stress dan memicu hadirnya endorphin yang akan memunculkan perasaan tenang.
  • Jadilah Pemaaf dan Jangan Mendendam
Banyak orang yang berpikir bahwa satu-satunya jalan agar kita bisa kembali menjalani hidup setelah ada orang yang menjahati kita adalah dengan membalas dendam. Padahal, penelitian Carlsmith, Wilson dan Gilbert (2008) menemukan bahwa perasaan tersakiti tidak akan hilang setelah kita membalas dendam. Lebih buruk lagi, dendam juga ternyata dapat menaikkan tekanan darah, menimbulkan stress, menurunkan kekebalan tubuh dan dapat menyebabkan penyakit jantung. Memang tak mudah memaafkan orang lain yang berbuat salah kepada kita. Tapi jika itu artinya kita akan hidup sehat lebih lama, mengapa tidak? (Catatan: memaafkan di sini bukan berarti tidak mencari keadilan)
  • Dan, Yang Sudah Banyak Diketahui, Tertawalah
Hidup bahagia memang memberikan banyak manfaat. Tawa, salah satu ciri orang yang bahagia, juga dikenal memberikan manfaat bagi kesehatan kita. Selain peredaran darah yang lebih lancar, tawa juga membuat darah kita makin kaya oksigen dan mengeluarkan emosi negatif yang ada di dalam tubuh kita (Hermawan, 2009).
Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk memperpanjang umur kita? Pergi liburan bersama teman baik, tertawa selama di perjalanan, lalu malamnya membicarakan hal-hal yang membuat kita sedih serta menangis bersama dan diakhiri dengan memaafkan mereka yang telah berbuat jahat kepada kita, kemudian ditutup dengan bersama-sama membeli binatang peliharaan atau kegiatan untuk hobi baru mungkin adalah ide yang baik.
Sumber: Ruangpsikologi[dot]com

Suatu Landasan Holistis Pengembangan Ilmu

Suatu Landasan Holistis Pengembangan Ilmu―Seperti Psikologi Manusia mengembangkan seperangkat ilmu. Hal ini bersumber pada kenyataan bahwa ia memerlukannya. Karena manusia mau tak mau harus menentukan sendiri bagaimana ia bersikap terhadap prasyarat-prasyarat kehidupannya, dan karena seluruh realitas secara potensial memengaruhinya, ia sedemikian membutuhkan pengetahuan yang setepat-tepatnya dan selengkap-lengkapnya tentang seluruh realitas itu. Ia hanya dapat hidup dengan baik apabila ia menanggapi realitas itu sebagaimana adanya, dan untuk itu ia harus mengetahuinya.[1]
Ilmu-ilmu itu meningkatkan kuantitas dan kualitas pengetahuan manusia. Ilmu-ilmu mengorganisasikan pengetahuan manusia secara sistematis agar efektif, dan mengembangkan metode-metode untuk menambah, memperdalam, dan membetulkannya. Demi tujuan itu, ilmu harus membatasi diri pada bidang-bidang tertentu dan mengembangkan metode-metode setepat mungkin untuk bidangnya masing-masing. Namun, [super-]spesialisasi ilmu-ilmu―berkat positivisme―yang mendasari sukses pesat ilmu-ilmu itu, sekaligus merupakan keterbatasannya. Pertanyaan yang lebih umum, yang menyangkut beberapa bidang atau hubungan interdisipliner, pertanyaan mengenai realitas sebagai keseluruhan, mengenai manusia dalam keutuhannya, tidak dapat ditangani oleh ilmu-ilmu itu karena ilmu-ilmu itu tidak memiliki sarana teoretis untuk membahasnya (Magnis-Suseno, 1988). Justru dalam hal ini diperlukan filsafat ilmu, untuk menangani pertanyaan-pertanyaan mahapenting yang di luar kemampuan metodis ilmu-ilmu spesial itu, secara metodis, sistematis, kritis dan berdasar. Di samping itu, filsafat ilmu diperlukan untuk (1) membantu membedakan ilmu dengan saintisme (yang memutlakkan berlakunya ilmu dan tidak menerima cara pengenalan lain selain cara pengenalan yang dijalankan ilmu), (2) memberi jawab atas pertanyaan”makna” dan ”nilai”, dalam hal mana ilmu membatasi diri pada penjelasan mekanisme saja (Bertens, 2005: 23-26), (3) merefleksi, menguji, mengritik asumsi dan metode keilmuan, sebab ada kecenderungan penerapan metode ilmiah tanpa memerhatikan struktur ilmu itu sendiri (Mustansyir & Munir, 2001), serta (4) dari hubungan historisnya dengan ilmu, filsafat menginspirasikan masalah-masalah yang akan dikaji oleh ilmu. Berdasar seluruh uraian di atas, jelas kiranya hubungan filsafat dengan ilmu. Ringkasnya dapat dikatakan bahwa filsafat dengan tiga bidang utamanya―yakni metafisika (khususnya ontologi), epistemologi, dan aksiologi―merupakan landasan hoslistis pengembangan ilmu. Inilah hal yang merupakan pokok pikiran utama yang sekaligus juga menjadi kerangka tulisan ini.
2
Landasan epistemologis ilmu berkaitan dengan aspek-aspek metodologis ilmu dan sarana berpikir ilmiah lainnya, seperti bahasa, logika, matematika, dan statistika. Landasan ini berangkat dari suatu premis bahwa sesungguhnya alam semesta tidak berbicara (dalam arti formal); ia hanya memanifestasikan diri dalam dan lewat fakta-fakta saja. Agar sains dapat berada, metode-metode (mekanisme-mekanisme) tertentu harus diciptakan, untuk ”menanyai” alam semesta dan bahkan untuk menerima darinya jawaban-jawaban yang signifikatif dan kondusif. Inilah fungsi pokok metode ilmiah yang akan dielaborasi lebih jauh nanti. Dalam konteks ini, hendak dijawab pula pertanyaan: (1) ”Apakah ilmu menjamin diperolehnya kebenaran?”, (2) ”Apakah batas-batas pengetahuan ilmiah itu?” Terhadap pertanyaan pertama, diajukan proposisi bahwa kebenaran itu bukanlah sesuatu yang stabil atau yang sudah ada, melainkan berada dalam sejarah yang senantiasa berubah[2]. Di samping itu, sejarah ilmu menunjukkan bahwa para filsuf dan ilmuwan tidak mampu merumuskan perangkat ketentuan yang universal diterima semua orang untuk menilai kebenaran (Alsa, 2003: 3). Dalam psikologi, hal ini berarti bahwa memahami satu sistem psikologi tertentu menuntut pengetahuan tentang kriteria kebenaran yang dianut oleh sistem tersebut. Dalam psikologi, kriteria itu misalnya: deductive explanation, behavioral control, interpretive consistency, dan intuitive knowing (Alsa, 2003: 3).[3] Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa yang dijamin untuk diperoleh oleh ilmu hanyalah jenis kebenaran ilmiah (scientific truth), meskipun sifat-sifatnya tidak mutlak, tidak samad, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif), dan hanya merupakan pendekatan (Wilardjo dalam Suriasumantri, 1997: 239). ”Kebenaran ilmiah” dalam tulisan ini diartikan sebagai kebenaran yang didapat melalui cara-cara baku yang disebut ”metode ilmiah”[4]; jadi, kebenaran yang didapat dengan cara lain tidak disebut kebenaran ilmiah, kecuali aksioma seperti dalam matematika (Marzoeki, 2000: 15).[5] Ada kebenaran lain dan sumber kebenaran lain (filsafat, seni, agama, dsb) (Suriasumantri, 1997: 3). Selanjutnya, terhadap pertanyaan epistemologis kedua, dapat dikemukakan bahwa para ahli sejarah sains dan metodologi ilmiah mengakui adanya jenis masalah yang, meskipun lahir dari dalam sains, namun melampaui batas-batas sains itu (Leahy, 1997: 32-40).[6]
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan ilmiah itu terbatas setidaknya berdasarkan dua argumen pokok: (1) keterbatasan persepsi, memori, dan penalaran, (2) implikasi saintifik kosmos terhadap pertanyaan-pertanyaan paripurna. Pertama, kiranya sudah sangat jelas bahwa persepsi, ingatan, dan penalaran sebagai sumber pemerolehan pengetahuan manusia mempunyai kelemahan-kelemahan (Suriasumantri, 1997: 17-18). Dalam kaitan ini, kegiatan berpikir
3
dalam ilmu menggunakan objek-objek material berupa gejala-gejala konkret yang dapat diamati secara langsung (Takwin, 2003: 23)[7]. Kedua, terdapatnya batas-batas pengetahuan ilmiah justru mendasarkan diri secara paradoksikal pada sebuah asumsi sebagaimana dinyatakan oleh Paul Davis (dalam Leahy, 2002: 15): Seluruh bangunan ilmiah berdasarkan hipotesis rasionalitas alam semesta ... Sukses sains setidaknya merupakan suatu evidensi tak langsung (circumstantial evidence) bagi rasionalitas alam semesta. Paradoksnya adalah bahwa rasionalitas alam semesta yang ditunjukkan oleh sains menjadi jembatan yang menghubungkan sains itu sendiri―yang sadar batas-batas pengetahuannya―dengan masalah-masalah paripurna mengenai ”makna” yang tinggal jauh di luar ilmu-ilmu empiris. Landasan ontologis ilmu berkaitan dengan hakikat ilmu; secara ontologis, ilmu mengkaji realitas sebagaimana adanya (das Sein). Persoalan yang didalami: ”Apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?” Dalam konteks ini, hendak dijawab pula pertanyaan: ”Apakah yang membedakan penjelasan ilmiah dengan penjelasan lainnya?”. Berdasarkan uraian sebelumnya, jelas bahwa terdapat tiga hal distingtif penjelasan ilmiah (scientific explanation): (1) deduktif, (2) probabilistik, (3) fungsional atau teleologis, dan yang keempat, menurut Ernest Nagel (dalam Suriasumantri, 2000: 142-143), adalah (4) genetik.[8] Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat manusia. Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah: ”Apa manfaat (untuk apa) ilmu bagi manusia?” (dalam psikologi, lihat juga ”The New Science of Axiological Psychology” oleh Leon Pomeory). Dalam konteks ini, dapat ditambahkan pertanyaan: ”Sejauh mana pengetahuan ilmiah dapat digunakan?”. Dalam hal ini, persoalannya bukan lagi kebenaran, melainkan kebaikan. Secara epistemologis, persoalan ini berada di luar batas pengetahuan sains. Menurut Bertens (dalam Magnis-Seseno et. al., 1992: 49), pertanyaan ini menyangkut etika: ”Apakah yang bisa dilakukan berkat perkembangan ilmu pengetahuan, pada kenyataannya boleh dipraktikkan juga?”. Pertanyaan aksiologis ini bukan merupakan pertanyaan yang dijawab oleh ilmu itu sendiri, melainkan harus dijawab oleh manusia di balik ilmu itu. Jawabnya adalah bahwa pengetahuan ilmiah harus dibatasi penggunaannya, yakni sejauh ditentukan oleh kesadaran moral manusia.[9] Namun, jadi, sejauh mana hak kebebasan untuk meneliti? Hal ini merupakan permasalahan yang pelik.
4
Penulis Juneman, S.Psi. Sarjana Psikologi alumnus Universitas Persada Indonesia Y.A.I., Jakarta. Catatan Kaki [1] Dari historisitasnya, awalnya filsafat lah yang menangani “pengetahuan” itu. Selanjutnya, pada permulaan zaman modern, filsafat dibandingkan dengan pohon yang meliputi seluruh ilmu (Descartes): akar-akarnya adalah metafisika, dan ranting-rantingnya adalah semua ilmu yang lain. Ilmu-ilmu satu per satu memperoleh otonominya, berkembang pesat, dan mengambil alih banyak tugas yang secara tradisional dijalankan filsafat. [2] Dalam analogi ilustratif Louis Leahy (2002: 17), ”Kita naik selangkah demi selangkah dari suatu tangga yang panjang; sehingga dewasa ini kepada kita disajikan suatu perspektif yang dahulu tidak ada, dan yang memungkinkan kita untuk menentukan relasi-relasi antara segi-segi alam semesta.” [3] Argumentasi ini semakin diperumit lagi apabila pemikiran Michel Foucault diikutsertakan, bahwa kebenaran pun ditunjuk dalam setiap wacana ilmiah di mana kuasa strategi dipraktikkan (Kebung, 2002: 35). Demikian pula, kita dapat menjadi semakin pesimis mengenai penjaminan pemerolehan kebenaran oleh ilmu, apabila kita merujuk pada hipotesis Foucault bahwa sejarah pengetahuan tidak begitu saja patuh pada hukum umum kemajuan nalar. Di bawah apa yang diketahui oleh ilmu pengetahuan, ada sesuatu yang tidak diketahuinya, tetapi yang mempunyai hukum dan aturannya sendiri. Tidak mengherankan, Foucault memposisikan psikoanalisis (di samping etnologi) secara khusus, bukan karena berhasil menjadi ilmiah dengan memantapkan landasan positivitasnya, tetapi karena terus mempertanyakan segala sesuatu yang tampak mapan (Leksono, 2002: 31). [4] Versi terbaru atau mutakhir dari apa yang disebut ”kebenaran ilmiah” itu lah yang disebut sebagai ”teori” (Alwasilah, 2002: 45). Menurut Shaw dan Costanzo (dalam Sarwono, 2002: 5), teori merupakan serangkaian hipotesis atau proposisi yang saling berhubungan tentang suatu gejala (fenomena) atau sejumlah gejala. Berdasarkan definisi ini, dapat disimpulkan sedikitnya empat fungsi teori: (1) menjelaskan atau memberi tafsir baru terhadap fenomena, (2) menghubungkan satu konsep/konstruk dengan konsep/konstruk lain, (3) memprediksi gejala, dan (4) menyediakan kerangka yang lebih jembar dari temuan dan pengamatan. Metode ilmiah lah yang merupakan prosedur baku yang berfungsi menghasilkan teori/kebenaran dimaksud. Metode ilmiah merupakan rentetan daur-daur penyimpulan-rampatan (induksi), penyimpul-khasan (deduksi) dan penyahihan (verifikasi/validasi) yang terus menerus tak kunjung usai (Wilardjo dalam Suriasumantri, 1997: 237). Dalam daur ini, terdapat demarkasi yang disebut Karl Popper sebagai falsifiabilitas. Yang harus melewati patok demarkasi pengujian empiris ini adalah hipotesis. Hipotesis merupakan pernyataan dugaan (conjectural) tentang hubungan antara dua variabel atau lebih, yang dapat dirunut atau dijabarkan dari teori dan dari hipotesis lain (Kerlinger, 2003: 32). Apabila hipotesis kerja (yang hendak diuji) bertahan menghadapi semua usaha menolaknya sebagai keliru (false), teori baru (Popper: ”system of hypotheses”; Shaw & Costanzo: ”a set of interrelated hypothesis”) boleh dianggap sudah diperoleh. Jadi, fungsi hipotesis adalah mengarahkan prosedur penelitian ilmiah, dan membawa ilmuwan ”keluar” dari dirinya sendiri (Kerlinger, 2003: 33). Dua atau lebih variabel yang dijalinkan oleh hipotesis merupakan konstruk-konstruk atau konsep-konsep yang memiliki variasi nilai dan terhubung dengan realitas via pengukuran. ”Konsep” mengungkapkan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal khusus (Kerlinger, 2003: 48), sedangkan ”konstruk” merupakan konsep-konsep yang didefinisikan oleh sebuah jejaring nomologis, yang mengaitkan konstruk-konstruk dan variabel-variabel yang teramati melalui seperangkat relasi-relasi teoritis-sah (Cronbach & Meehl, 1955). Menurut Bunge (1983), konstruk adalah sebuah objek ideal, yang eksistensinya bergantung (predicated) pada mind seseorang; dalam hal ini dikontraskan dengan objek-objek riil, yang eksistensinya tidak bergantung pada mind. Dalam definisi yang lain, konstruk merupakan sebuah properti mental ("Assessing statistically", 2004). Fungsi konsep adalah sebagai alat identifikasi fenomena yang diobservasinya (Effendi dalam Singarimbun & Effendi, 2006: 95); misalnya, ”konsep prestasi akademis” mengungkapkan sejumlah observasi tentang hal-hal yang lebih atau kurang ”prestatif”. Sedangkan konstruk berfungsi membantu kita mengerti esensi fenomena yang sedang diteliti (Christensen, Johnson, & Horn, 2008: 288); misalnya, ”konstruk prestasi” menolong kita mengenali kenyataan bahwa prestasi akademis merupakan fungsi dari inteligensi dan motivasi. [5] Suatu pernyataan teoretis mesti berlandaskan pada pernyataan sebelumnya. Pernyataan sebelumnya harus berlandaskan pernyataan sebelumnya lagi, dan seterusnya, sehingga kita dapat sampai pada pernyataan yang paling pangkal diajukan. Pernyataan ini dianggap terbukti dengan sendirinya (self-evident) dan diterima umum sebagai kebenaran (universally recognized as truth) disebut aksioma (Marzoeki, 2000: 17). Contoh aksioma dalam Psikologi Sosial: (1) manusia mengkonstruksi realitasnya sendiri, dan (2) pengaruh-pengaruh sosial bersifat pervasif (Smith & Mackie, 2000: 14). Nampak bahwa fungsi aksioma adalah membantu ilmuwan untuk mengorientasikan aktivitas ilmiahnya secara
5
tepat, sehingga data, penyelidikan, dan interpretasi menjadi harmonis dengan aksioma orisinalnya. Menurut Kantor (1983), ”No intellectual work can be organized into a system of interpretation and explanation without the operation of axioms as basic assumptions.” Di samping itu, fungsi aktual aksioma adalah untuk menjelaskan fenomena yang dideskripsikan oleh teorema-teorema dari sebuah sistem ilmu (Lakatos, 1978: 27). [6] Misalnya: ”(1) Ahli fisikia, yang menghadapi soal hubungan antara subjek dan objek, yang bersifat filosofis; (2) Ahli biologi, yang menemui program DNA, ... , seakan-akan materi ”dipikirkan” ke arah prestasi yang melampaui kemampuan materi murni; (3) Kasus Hellen Keller, yang menunjukkan bahwa semua usaha untuk merendahkan kesadaran intelektual kepada derajat suatu psikologi empiris atau sensualis saja, sama sekali kalah. (Kasus ini) ... tidak dapat dimengerti tanpa melihat dalam inteligensi sebuah dimensi yang memang supra-material.” [7] Sehubungan dengan ini, Tennant (1968: 364) menyatakan: Science can only know …. the Real through and as the phenomenal. It is precluded from making statements, positive or negative, as to the ontal, and from claiming absolute knowledge or non-phenomenal knowledge of the absolute. [8] Contoh: Penjelasan probabilistik ditarik secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberikan kepastian seperti penjelasan deduktif, melainkan penjelasan yang bersifat peluang, seperti ”kemungkinan”, ”kemungkinan besar”, atau ”hampir dapat dipastikan”. Penjelasan fungsional atau teleologis meletakkan sebuah unsur dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai karakteristik atau arah perkembangan tertentu (Suriasumantri, 2000: 142). Dewasa ini telah ditemukan model-model penjelasan ilmiah yang membedakannya dengan penjelasan non-ilmiah, yakni Deductive-Nomological (DN), Statistical Relevance (SR), Causal Mechanical (CM), dan Unificationist models ("Scientific explanation", 2009). Dalam model DN, sebagai contoh, ilmu bertanggung jawab untuk menyediakan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan "mengapa". Suatu jawaban atas pertanyaan "mengapa" baru dapat disebut penjelasan ilmiah apabila ia memiliki struktur yang logis dalam argumennya, yaitu terdiri atas premis-premis dan kesimpulan yang memiliki relasi satu sama lain. Kesimpulan yang ada di dalamnya merupakan fenomena yang perlu dijelaskan (explanandum), sedangkan premis-premisnya adalah fakta yang bisa digunakan untuk mendukung kesimpulan tersebut (explanans). Untuk dapat memberikan penjelasan, ilmu memiliki argumen deduktif dengan minimal satu hukum umum sebagai premis dan satu explanandum sebagai konklusi. Explanans memberikan penjelasan ilmiah terhadap explanandum hanya apabila: (1) Explanandum merupakan konsekuensi logis dari konjungsi explanans; (2) Tidak ada surplus explanans yang tidak perlu dalam rangka eksplanasi; (3) Pernyataan-pernyataan explanans harus memiliki isi empiris; (4) Semua pernyataan explanans harus benar (Ruben, 1990). Ada karakteristik lain dari model DN, yaitu bahwa sebuah eksplanasi dapat digunakan untuk memperkirakan, dan sebuah prediksi adalah sebuah eksplanasi yang sah karena kepersisan struktur logisnya. Model ini sangat jelas membedakan antara ilmu dan bukan-ilmu. [9] Bagaimana, misalnya, sikap ilmuwan terhadap eksperimen psikologis yang mengobjekkan manusia? Menurut Magnis-Suseno (1995: 60-61), ”Ilmuwan tidak pernah boleh semata-mata merupakan ilmuwan.” Ilmuwan harus mengembangkan suatu tanggungjawab sosial, dengan tidak begitu saja melepaskan kekuatan-kekuatan yang kemudian tidak dapat dikuasai manusia lagi. Menurut Bertens (1992: 56, 2001: 291), pembatasan (sejauh mana) penggunaan pengetahuan ilmiah menuntut penanganan yang menyeluruh, yang biasanya ditetapkan oleh negara (biomedis), perjanjian internasional (persenjataan nuklir), atau komisi-komisi etis. Hal ini karena individu-individu ilmuwan itu sendiri tidak berdaya menangani masalah-masalah etis, khususnya yang berat. Kepustakaan Alsa, A. (2003). Pendekatan kuantitatif dan kualitatif serta kombinasinya dalam penelitian psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Alwasilah, A. C. (2002). Pokoknya kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya. Assessing statistically and clinically meaningful construct deficiency/saturation: Recommended criteria for content coverage and item writing. (2004, Spring). Rasch Measurement Transactions, 17(4). Ditemukembali pada 7 November 2009, dari http://www.rasch.org/rmt/rmt174.pdf Bertens, K. (1992). Umat Katolik dan bioetika. Dalam Magnis-Suseno, F., Lajar, L. L., Bertens, K., Bagus, L., & Mardiatmadja, B. S., Iman dan ilmu: Refleksi iman atas masalah-masalah aktual. Yogyakarta: Kanisius. Bertens, K. (2001). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bertens, K. (2005). Panorama filsafat modern (Edisi revisi). Jakarta: Teraju. Bunge, M. A. (1983). Epistemology & methodology. Hingham, MA: Reidel. Christensen, C. M., Johnson, C., & Horn, M. (2008). Disrupting class: How disruptive innovation will change the way the world learns. McGraw-Hill. Cronbach, L. J., & Meehl, P. E. (1955). Construct validity in psychological tests. Psychological Bulletin, 52(4), 281-302. Kantor, J. R. (1983). Axioms and their role in psychology. Revista Mexicana de AnĂ¡lisis de la Conducta, 7(1), 5-11.
6
Kebung, K. (2002, Januari-Februari). Kembalinya moral melalui seks. Basis, No. 01-02, Th. 51, 32-41. Kerlinger, F. N. (2003). Asas-asas penelitian behavioral. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Lakatos, I. (1978). Mathematics, science and epistemology. Philosophical Papers, 2. Leahy, L. (1997). Sains dan agama dalam konteks zaman ini. Yogyakarta: Kanisius. Leahy, L. (2002). Horizon manusia: Dari pengetahuan ke kebijaksanaan. Yogyakarta: Kanisius. Leksono, K. (2002, Januari-Februari). Berakhirnya manusia dan kebangkrutan ilmu-ilmu. Basis, No. 01-02, Th. 51, 22-31. Magnis-Suseno, F. (1995). Filsafat-kebudayaan-politik: Butir-butir pemikiran kritis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Magnis-Suseno, F. (1988). Etika politik: Prinsip-prinsip moral dasar kenegaraan modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Magnis-Suseno, F. (1995). Filsafat-kebudayaan-politik: Butir-butir pemikiran kritis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Marzoeki, D. (2000). Budaya ilmiah dan filsafat ilmu. Jakarta: Grasindo. Mustansyir, R, & Munir, M. (2001). Filsafat ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ruben, D. (1990). Explaining explanation. London & New York: Routledge. Sarwono, S. W. (Ed.) (2002). Teori-teori psikologi sosial (Edisi revisi). Jakarta: RajaGrafindo Persada. Scientific explanation. (2009, 16 Januari). Standford Encyclopedia of Philosophy. Ditemukembali pada 7 November 2009, dari http://plato.stanford.edu/entries/scientific-explanation/ Singarimbun. M., & Effendi, S. (Ed.) (2006). Metode penelitian survai (Edisi revisi). Jakarta: LP3ES. Smith, E. R., & Mackie, D. M. (2000). Social psychology. Psychology Press. Suriasumanti, J. (Ed.) (1997). Ilmu dalam perspektif: Sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Suriasumantri, J. (2000). Filsafat ilmu: Sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Takwin, B. (2003). Filsafat Timur: Sebuah pengantar ke pemikiran-pemikiran Timur. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra. Tennant, F. R. (1968). Philosophical theology. London, N.W.: Cambridge University Press. Wilardjo. L. (1997). Ilmu dan humaniora. Dalam Suriasumanti, J. (Ed.), Ilmu dalam perspektif: Sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...