Monday, September 13, 2010

Menanti Satrio Piningit

Membaca judul tulisan di atas mungkin terbesit dalam pikiran pembaca tentang romantisme sejarah nusantara dulu. Sejarah selalu mengajak kita untuk berenag-renang akan sebuah romantisme lama, namun penuh dengan nilai kontekstualitas kekinian. Sebagai negara yang katanya maritim dan agraris (mesti dipertanyakan ulang), tentu tradisi-tradisi kebaharian dan keagrarisan selalu menghiasi baju nusantara. Tradisi lokal yang kemudian menjadi “local genius”, kadang-kadang dijadikan yurisprudensi sosial-kultural untuk melegitimasi yang namanya mitos dan legenda bahkan tahayul. Apakah semua itu bernuansa mistik atau magis? Betul sekali, karena sejarah yang dibentuk oleh republik inipun adalah sejarah tentang kekuatan-kekuatan gaib dan mistik. Para wali di Tanah Jawa atau yang dikenal dengan Wali Songo tak lepas dari identifikasi mistik tersebut, yang pada akhirnya menjadi sebuah pembenaran sejarah. Para waliyullah itu memiliki kekuatan gaib yang bagi agamawan Islam menyebutnya mukjizat. Raja-raja di nusantara inipun selalu dikaitkan dengan kekuatan gaib yang melindungi dirinya. Bahkan legenda Nyi Roro Kidul bagi orang Jawa merupakan romantisme sejarah antara makhluk gaib dengan seorang raja. Mistifikasi tempat, pakaian, simbol bahkan orang adalah sebuah tradisi yang unik dan menarik dalam masyarakat kita.
Diskursus tentang seseorang yang akan menjadi pembawa kebenaran di tanah nusantara Indonesia ini, dimulai seiring tumbuh dan munculnya kerajaan-kerajaan tradisional. Seorang manusia yang adil, cakap, bijaksana dan mampu membenahi karut-marut permasalahan di masyarakat. Dalam tradisi masyarakat kemudian dikenal nama Ratu Adil yang berperan menjadi figur harapan untuk bertindak bagi rakyatnya. Satrio Piningit adalah nama lain atau juga sebutan lain bagi sosok harapan umat ini. Inilah yang dalam fakta sejarah pernah diungkapkan oleh Soekarno, bahwa Ratu Adil atau Satrio Piningit itu akan muncul suatu saat di tanah nusantara Indonesia. Dia akan menjadi sosok pemimpin yang mampu membawa Indonesia ke zaman emas penuh dengan kejayaan dan keadilan. Mitos tentang Satrio Piningit kemudian terinternalisasi ke dalam memori masyarakat kita. Menjadi lebih dalam lagi karena perkawinan antara tradisi lokal tadi dengan realita sosial-politik yang terjadi. Tentu ini menjadi sebuah harapan kolektif rakyat yang selalu bermain-main dengan kemiskinan dan kebodohan. Kemudian ini juga yang membuat S.M. Kartosuwiryo, seorang pejuang bahkan teman berdebat Soekarno, Agus Salim termasuk Alimin dan Muso, menjadi seorang “pemberontak”. Masing-masing di antara mereka memiliki orientasi ideologis yang berbeda secara ekstrem. Sejarah mencatatnya sebagai pemberontak dengan gerakan Daulah Islamiyah atau Negara Islam, yang diproklamirkan 9 Agustus 1949. Kartosuwiryo juga didaulat menjadi pemipin tertinggi yang kemudian dipanggil “Imam”. Figur beliau menjadi sangat berpengaruh di kalangannya, karena mitos religius Islam yang telah dikenalkan dengan konsep Imam Mahdi. Seorang figur yang datang untuk membela kebenaran dan menegakkan hukum-hukum Tuhan di muka bumi. Akhirnya Kartosuwiryo juga dianggap sebagai Sang Imam Mahdi oleh para pengikutnya pada waktu itu.
Jadi Ratu Adil, Satrio Piningit dan Imam Mahdi adalah rangkaian-rangkaian mitos yang kemudian bertranformasi menjadi tradisi. Apakah ini kesalahan secara teologis masyarakat beragama, atau sekedar mitos pengobat hati masyarakat yang selalu miskin, tercabik-cabik dan terbelakang? Jika pemaknaan kita terhadap mitologi itu secara teologis, bukanlah sebuah pendekatan yang sepadan. Karena secara sadar mitos tersebut seakan-akan menjadi harapan bagi realita sosial kita. Rakyat butuh pengakuan, butuh pengayoman, keadilan dan sebagainya. Namun jika semua hal itu masih pseudo, maka tentu harapan-harapan untuk mencapainya akan tinggal cerita di koran-koran. Kita mesti berangkat dari realita yang sungguh kompleks seperti sekarang. Mistifikasi dan mitologisasi dalam masyarakat Indonesia, akan senantiasa ada dan menjadi tradisi, bahkan menjadi sebuah paradigma. Paradigma untuk menyelesaikan setumpuk kegagalan negara terhadap rakyatnya. Bagi yang skripturalis-puritan, tentu berenang-renang dengan mitos dan mistik adalah perbuatan tahayul. Irasionalitas yang akut akan bermuara pada penduaan akan Tuhan. Sebuah dosa yang fatal bagi kalangan beragama. Maka Ratu Adil, Satrio Piningit dan kawan-kawannya, mesti ditebas habis dalam tradisi, baik pemikiran maupun sosial. Tentu secara bijak bisa dikatakan bahwa ini bukanlah jawaban, atas setumpuk asa rakyat yang selalu diabaikan oleh negara, kita bisa lihat sekarang.
Secara antropologis masyarakat beragama memiliki nalai-nilai yang selalu ditransmisikan secara turun-temurun. Nilai-nilai yang dipegang dan menjadi tradisi tersebut sebenarnya bisa dilacak dan ditelusuri. Sebutlah tentang Imam Mahdi, sosok yang sangat mistik dan penuh tanda tanya. Karena dalam Islampun, dipahami secara multiinterpretasi siapa dan apa yang dinamakan Imam Mahdi, termasuk tentang kapan dan dimana dia akan terlahir atau muncul. Mitos Imam mahdi berangkat dari pemahaman tekstual hadist Nabi Muhammad yang mengatakan tentang akan munculnya sosok Imam Mahdi untuk menegakkan hukum Tuhan seadil-adilnya di muka bumi. Kapan dia tiba? Ketika zaman kehidupan manusia di bumi mendekati kiamat. Sebagian kaum beragama mempersepsikan Imam Mahdi adalah figur manusiawi, laksana manusia umumnya namun tentu diiringi dengan selusin kekuatan gaib dan mistis. Ini pada umumnya pemaknaan kaum beragam terhadap Imam Mahdi yang ditunggu. Begitu juga dalam tradisi Islam Syiah yang menganggap Imam Mahdi adalah manusia yang dijanjikan Tuhan turun, terlahir ke bumi untuk merevolusi sistem dan rezim jagad profan ini. Secara kuantitatif, saya pikir sangat sedikit yang punya interpretasi bahwa Sang Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu bukan sosok figur berupa manusia, tetapi suatu sistem, keadaan, realita kehidupan yang bergerak menuju kesempurnaan. Inilah yang oleh Jayabaya dikatakan sebagai zaman keemasan (khususnya di nusantara).
Mungkin sebagian masyarakat sedang menunggu datangnya Satrio Piningit atau Ratu Adil yang berperan sebagai Al-Mahdi. Seseorang yang memberikan cahaya, pemimpin atau figur yang mampu mengeluarkan keadaan serba tak menentu di republik ini. Tetapi mestilah mitologi Satrio Piningit kita reinterpretasi secara fundamental. Dia ada dan hadir dalam tradisi bukan karena pemahaman akan ayat-ayat Tuhan, yang menjanjikan seorang manusia akan hadir membenahi suatu keadaan menuju kebaikan. Melainkan sebuah simbolisasi akan tercapainya keadilan dan kesejahteraan secara merata di republik ini. Jika pemahaman akan Al-Mahdi masih dikatakan seorang figur, maka kita akan terus berenang-renang di lautan penuh ombak yang akhirnya membuat mabuk. Harapan akan seseorang yang terlahir sebagai Satrio Piningit pada akhirnya bermuara kepada kultus individu. Pengkultusan individu inilah yang kemudian membuat keterlenaan semakin membius. Masyarakat akan lupa kepada realita sosial, lupa akan kesejahteraan yang masih jauh, keterbelakangan, kebodohan, hukum yang adil, pemimpin yang empati kepada rakyat dan sebagainya. Ini menjadi refleksi kontemplatif bagi sebuah bangsa yang masih memimpikan datangnya keadilan, kesejahteraan dan pembebasan, yang bernama Indonesia. Semoga.

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...