Tuesday, September 7, 2010

Hermeneutika

Asal-Usul Hermeneutika

Istilah hermeneutika pada dasarnya, secara tradisional, sering disandarkan dengan Hermes, seorang tokoh dalam mitos Yunani yang bertugas sebagai mediator antara Zeus dengan manusia. Sebagai mediator diartikan sebagai penyampai pesan Zeus untuk manusia. Sehingga Hermes sendiri mengalami kebingungan yaitu bagaimana bahasa langit itu dapat dipahami dengan bahasa bumi. Sehingga Hermes memberanikan diri untuk meng-eksegesis pesan tersebut menjelma menjadi sebuah teks suci.
Kata teks di atas dalam artian etimologi adalah tenunan atan pintalan. Sehingga kaitannya dengan Hermes adalah hal yang ia pintal adalah gagasan dan kata-kata Zeus (bahasa langit) menjadi sebuah narasi dalam bahasa manuisa.
Definisi Hermeneutika
Kata hermeneutika berasal dari kata Yunani: hermeneuein yang diartikan sebagai: menafsirkan dari kata bendanya hermeneia artinya tafsiran. Hermeneuein sendiri mengandung tiga makna yaitu: (1) to say (mengatakan); (2) to explain (menjelaskan); dan (3) to translate ( menerjemahkan). Yang kemudian ketiga makna ini diserap ke bahasa Inggris menjadi to interpret. Otomatis kegiatan interpretasi menunjukkan pula pada tiga hal pokok yakni: (1) an oral recitation (pengucapan lisan); (2) a reasonable explanation (penjelasan yang masuk akal); dan (3) a translation from another language (terjemahan dari bahasa lain/mengekspresikan).
Secara istilah hermeneutika dipahami sebaagai suatu seni dari ilmu menafsirkan khususnya tulisan berkewenangan, terutama berkenaan dengan kitab suci dan sebanding dengan tafsir. Atau sebuah filsafat yang bidang kajiannya memusatkan pada bidang persoalan understanding to understanding terhadap teks yang ekstra linguistik atau secara dialektis non-Platonik.
Sehingga ada dua poin penting yang dapat kita deskripsikan yaitu: (1) permasalahan filsafat adalah pada bahasa dalam artian sempitnya, yaitu bentuk semantik tertentu dalam artian transposisi suatu nama atau istilah; (2) bahasa adalah kondisi dasar antropologis, sehingga wacana filsafatpun pada dasarnya metavoris intensive.
Dalam perkembangan selanjutnya, hermeneutika dibahas menjadi tiga yaitu: hermeneutika sebagai metodologi; filsafat; dan kritik. Sementara pemikirannya dibagi menjadi enam pembahasan yaitu: sebagai eksegesis bible; metode filologi; sebagai pemahaman linguistic, sebagai fondasi geisteswissenschaft; sebagai fenomenologi dasein; dan sebagai system interpretasi.
Bahasa Sebagai Pusat Bahasa
Filsafat di jaman Post-modern ini dapat dikatakan sedang mengalami linguistic turn atau pembalikan ke arah bahasa. Dikatakan demikian sebab kata kunci filsafat tradisional adalah akal-roh, pengalaman dan kesadaran tetapi kini adalah bahasa.
Linguistic turn sendiri, menurut kami adalah bertolak dari tiga permasalahan pokok dalam filsafat post-modern, yaitu: Pertama, isu tentang berakhirnya filsafat setelah muncul dekonstruksi, atau jika dalam Islam, hal ini dapat dikonotasikan dengan isu atau kepastian tertutupnya pintu ijtihad, yang pada dasarnya permasalahan ini berpusat pada paradoks referensi diri, pada ambiguitas konsep tentang argumentasi dan pada buramnya batas antara bahasa filsafat dan bahasa sastera; Kedua, rasionalitas dan pluralitas yang pada dasarnya menunjuk pada hermeneutika teks ataupun hermeneutika permainan bahasa. Sedangkan Ketiga, yakni tumbangnya epistimologi adalah suatu kesia-siaan vokabulari abad ke 17. pada hemeneutika atas sang Ada melalui bahasa, dan pada perkara model linguistik yang dipaksaan atas kenyataan.
Ketiga permasalahn tersebut di atas, secara ringkas dapat dikatakan adalah permasalahan logika, bentuk kehidupan plural dan metafor. Yang jika dilihat secara historis hal ini dapat berjalan bersesuaian dengan perkembangan persoalan bahasa itu sendiri dalam dunia filsafat barat umumnya.
Keterbatasan Fungsi Deskriptif Bahasa
Sebagai pusat persoalan filsafat Post-modern (hermeneutika), bahasa dibatasi dengan fungsi tertentu yakni fungsi deskriptif dalam konteks pengalaman dan paradigma.
Konteks Pengalaman
Dalam konteks ini, batas bahasa dilihat sebagai arah, sebab pengalaman experience nyata selalu lebih luas, lebih dalam dan lebih rumit daripada bahasa (ekstra linguistic).
Experience tertentu terkadang sulit dijelaskan dengan bahasa walaupun tidak secara keseluruhan. Sebab experince bukan semata-mata pengalaman tentang objek, melainkan termasuk reaksi kita atas objek. Jadi secara konvensional, bahasa dianggap mengandung unsur negatif dalam deskripsi setiap pengalaman yang bersifat penciutan pengalaman akibat unsur generalitas, keeksplisitan dan kekosongan.
Pertama, generalitas. Ambillah sebatang kayu, misalnya. Keunikan kayu itu, yaitu, keberadaan kayu itu sebagai kayu yang seperti itu dan bukan seperti lainnya, tidak bisa dideskripsikan secara betul-betul unik, sebab setiap kata yang kita pakai untuk mendeskripsikan itu selalu bisa dikenakan pada kayu-kayu yang lain. Bahasa pendeknya, selalu membawa sifat “umum”.
Kedua, keeksplisitan. Bahasa selalu memberi bentuk definitif pada pengalaman manakala pengalaman itu dirumuskan ke dalam bahasa. Bahasa pendeknya selalu membuat keputusan sementara pengalaman selalu merupakan medan terbuka. Ketiga, kekosongan. Bahasa bagaimanapun tidak sama dengan pengalaman. Pengalaman itu nyata dan primer sementara bahasa itu derivatif dan sekunder. Seolah pengalam itu penuh isi, sementara bahasa itu kosong.
Atau, sebaliknya jika kami dapat katakan bahasa juga mengandung hukum kebalikan, yakni sebaliknya deskriptif bahasa justru berperan untuk membentuk peristiwa acak menjadi pengalaman (experience to be experience). Bahasa dapat dan memang memperdalam pengalaman juga, justru dengan cara mengangkat ambiguitas ke permukaan lewat refleksi dan dengan mengangkat segala hal partikular ke taraf konsep yang bertaraf general. Dengan kata lain deskripsi justru berperan untuk membantu agar pengalaman menyadari dirinya atau menemukan bentuknya. Ambillah misalnya kasus seorang tentara yang baru kembali dari peperangan. Jika kita gunakan pendapat awal tadi maka bisa kita katakan bahwa ia tak akan mampu merumuskan secara memadai bagaimana rasanya berada dalam kepungan tembakan musuh. Tapi barangkali benar juga jika ia sebetulnya tidak telalu melihat makna dari pengalaman itu sampai ia membaca berita di surat kabar tentang peristiwa itu. Ketika di surat kabar ia baca bahwa peritiwa itu bernilai historis penting, barulah ia menyadari makna yang tersembunyi dari pengalamnanya yang tadinya serba tak jelas dan tak saling berkaitan. Jadi, disini bahasa berperan membantu agar peristiwa acak menemukan maknanya dan menjadi pengalaman yang berarti. Sehingga bahasa sendiri dapat berkarakter sebagai tensionalitas.
Konteks Paradigma
Konteks paradigma berhubungan dengan klaim sebagai permasalahan pokok filsafat yang pertama, dengan anggapan bahwa filsafat telah berakhir. Dengan anggapan umum bahwa segala konstruk linguistik atau segala kerangka konseptual umumnya mendasarkan diri pada pengandaian-pengandaian yang tak bisa dieksplisitkan dalam bahasa itu sendiri sebagai isyarat keterbatasan bahasa.
Jika dianalogikan hal ini, misalnya, bahwa kita tidak akan bisa melihat persis lantai tempat kita berdiri. Dengan fakta bahwa lantai itu tertutupi oleh kaki kita. Sehingga terkadang kita dapat melihatnya secara persis dengan mengecat atau menggeser tempat kita berpijak baru bisa mengetahui tempat berpijak lantai tadi. Dan hal ini berpandangan bahwa hanya melalui sejarah pra-andaian saat ini dapat terlihat untuk kemudian didiskusikan. Tetapi pandangan ini tidak menyentuh pada jantung perkaranya, sehingga tercetus suatu perkataan: “tentang apa yang tak bisa kita bicarakan, lebih baik kita harus diam”.
Tetapi bahasa melalui teori gambar dapat memaparkan dunia dengan deskriptifnya secara transendental. Maka bahasa kini dilihat tidak hanya sebatas fungsi deskritif saja tetapi fungsi metaforis, retoris dan imajinatif. Seperti dalam ceramah, pada hakikatnya bukan mendengarkan serangkaian pernyataan, melainkan mengikuti gerak penyingkapannya. Berkata tidaklah identik dengan berbicara. Seorang bisa saja berbicara banyak tetapi tidak mengatakan apapun. Atau orang lain mungkin tinggal diam saja, tanpa bicara justru mengatakan banyak hal. Berkata berarti menyingkapkan, menjadikan terlihat dan terdengarnya realitas. 
Fungsi Transformatif Bahasa.
Dasar yang melandasi adalah paradigma Representasionalisme sehingga kini bahasa lebih dilihat dalam sifat transformatifnya. Dalam hermeneutika, bahasa dilihat sebagai pusat gravitasi, sedangkan manusia sebagai zoon logon echon, dalam arti bahwa manusia mahluk yang berbicara, pengada yang memiliki logos. Munculnya bahasa dalam perkembangan manusia tidak bisa dianggap sekedar seperti ditemukannya sistem peralatan ataupun perubahan cara hidup dari berburu ke agraris, misalnya. Munculnya bahasa menampilkan suatu transformasi mendasar yang mendasar dan total dari taraf zoon menuju ke alam yang sangat khas human, yaitu suatu keterpisahan mendasar dari kungkungan alam. Munculnya bahasa adalah munculnya kemampuan reflektif.
Berkat adanya bahasa, manusia menjadi objek potensial bagi dirinya sendiri, menjadi persoalam pokok pemahaman dirinya sendiri. Maka lalu tentang siapa kita ini sebagai manusia sangat ditentukan oleh bahasa. Kita memahami diri kita dengan cara menceritakan diri kita. Manusia bukanlah mahluk yang sudah tercetak sekali jadi secara natural, meliankan lebih suatu produk kultural, yaitu suatu konstruk linguistik.
Oleh sebab itu bahasalah yang memungkinkan manusia berfikir, maka bahasa tidak bisa hanya dilihat sebagai medium saja seperti dalam pemikiran moderisme. Bahasa bukanlah sekedar medium, sarana atau ekspresi pikiran. Bukan pula representasi kenyataan. Secara ekstrim dapat kita katakan, bahasa adalah apa yang biasa kita sebut pikiran. Sebab tak ada cara lain untuk berfikir tentang kenyataan itu selain lewat bahasa.
Bahasa disini lebih dari sekedar teks, struktur dan makna. Melainkan juga sebagai pengalaman yang dihayati. Atau bahasa adalah cara kenyataan itu hadir dan bermakna bagi kita, cara kenyataan menyingkapkan diri kepada kita. Sehingga hermeneutika menawarkan cara lain untuk melihat bahasa, yaitu, bahasa dilihat sebagai cara kita mengalami dan memahami kenyataan dan cara kenyataan tampil pada kita. Mak fungsi esensial bahasa adalah fungsi transformatifnya. Melalui bahasa kita mentransformasikan dunia, dan dunia mentransformasikan kita.
Hakikat Filsafat Hermeneutika.
Klaim filsafat telah berakhir, kiranya perlu dirilis ulang dengan melihat bahwa:
  1. Wacana filsafat adalah sebagai wacana yang tensive sebagai kondisi antropologis antara ekuivositas dan univositas konsep. Sehingga filsafat kini merupakan refleksi kritis yang hendak memahami berbagai cara manusia memahami dunianya.
  2. Wacana filsafat secara ekstern (ilmiah) adalah sebagai wacana netral yang secara hermeneutika merupakan pengenalan reflektif atas keterbatasan setiap klaim manusia tentang pengetahuan dan atas aspek relativitas historis-kultural dari wacana manusia, untuk memunculkan dialog dan kerjasama antar manusia.
  3. Rasionalitas merupakan adaptasi terus menerus oleh bahasa terhadap pemahaman yang senantiasa makin luas berkat dialog dalam bentuk transformasi realitas.
  4. Kebenaran adalah bersifat transenden dalam bentuk anomali atau irasionalitas untuk memperbaharui konvensi- yang menganggap kebenaran adalah jaringan kekuasaan.
Kesimpulan
Aristoteles mengatakan bahwa setiap awalan memang merupakan pembatasan. Dan menurut kelompok kami pembatasan juga bisa merupakan awal yang baru. Dengan menuntut transformasi tertentu dalam cara kita memandang kenyataan.
Filsafat Hermeneutika, merupakan salah satu aliran dalam Post-modern, yang menghidupkan kembali (awal baru) terhadap klaim berakhirnya filsafat. Melalui bahasa secara implisit-eksplisit, interlinguistic-ekstralinguistic yang menunjuk pada kondisi dasar antropologi manusia yang bersifat tensive terhadap filsafat, rasionalitas dan kebenaran melaui metaforis, retorika dan imajinasi.
Dengan anlaogi ulat dan kupu-kupu. Kupu-kupu memnag berasal dari ulat namun kupu-kupu bisa terbang sementara ulat tidak. Filsafat betapapun juga memiliki kemampuan untuk menjelaskan kenyataan lebih daripada metafor. Tetapi metafor dengan imaji-imaji bebasnya dapat menjadi sumber inspirasi tak habis untuk berpikir lebih jauh lagi. Kenyataan bahwa bahkan dalam bahasanya pun filsafat nyatanya sulit melepaskan diri dari metafor, hanyalah menunjukkan bahwa dalam kenyataannya pencarian kejernihan konsep memang senantiasa bersitegang dengan upaya untuk memelihara dinamika makna. Bahasa memang bersifat tensive dalam tegangan antara pembatasan perspektif dan keterbukaan, antara penggambaran dan penjelasan, antara ketepatan logis dan resonansi efektif psikologis.
Filsafat dengan bahasanya yang tensive itu lalu memang jadi sulit untuk diverifikasi maupun ditumbangkan secara tegas. Status ilmiahnya mau tak mau adalah hipotesis saja yang juga berguna untuk memperluas dan mengorganisasikan pemahaman kita tentang manusia, dunia dan kehidupan itu sendiri.
  
DAFTAR PUSTAKA
Al sya’rani, Abd Wahhab. 2003. Beranda Sang Sufi: Jejak Langkah Para Arif Sejak Sahabat Sampai Ulama Fiqh. Terj: Masyah, Hade. Jakarta: Hikmah
Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika Sebagai Metode, Filsafat dan Kritik. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Muslih, Muhammad. 2006. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar.
Polmer, Richard. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...