Friday, January 13, 2012

Humanisasi Dalam Kehidupan

Dalam Ilmu Sosial Profetik, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep humanisme Kuntowijoyo berakar pada humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya.
Humanisme Barat lahir dari pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja yang bersifat dogmatis pada abad Pertengahan. Pandangan antroposentris beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan tapi pada manusia. Etosnya adalah semangat menghargai nilai-nilai yang dibangun oleh manusia sendiri. Peradaban antroposentris menjadikan manusia sebagai tolok ukur kebenaran dan kepalsuan, untuk memakai manusia sebagai kriteria keindahan dan untuk memberikan nilai penting pada bagian kehidupan yang menjanjikan kekuasaan dan kesenangan manusia. Antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia, karenanya merasa cukup dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris merasa menjadi penguasa bagi dirinya sendiri. Tidak hanya itu, ia pun bertindak lebih jauh, ia ingin menjadi penguasa bagi yang lain. Alam raya pun lalu menjadi sasaran nafsu berkuasanya yang semakin lama semakin tak terkendali.
Dengan rasio sebagai senjatanya, manusia antroposentris memulai sejarah kekuasaan dan eksploitasi atas alam tanpa batas. Modernisme dengan panji-panji rasionalismenya terbukti menimbulkan kerusakan alam tak terperikan terhadap alam dan manusia. Ilmu akal adalah ilmu perang yang metode dan taktik perangnya telah ditulis dengan amat cerdas oleh Descartes melalui semboyannya “Cogito Ergo Sum”. Melalui ilmu perang Descartes, peradaban modern menciptakan mesin-mesin perang terhadap alam berupa teknologi canggih untuk menaklukkan dan mengeksploitasi alam tanpa batas, juga mesin-mesin perang terhadap manusia berupa senjata-senjata canggih supermodern, bom, bahkan juga senjata pemusnah masal. Jadi, alih-alih humanisme antroposentris itu berhasil melakukan proses humanisasi, yang terjadi justru adalah proses dehumanisasi.
Kuntowijoyo lalu mengusulkan humanisme teosentris sebagai ganti humanisme antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia. Dengan konsep ini, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri. Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas tapi transendensi. Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada dalam tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi (obyektivasi teknologis, ekonomis, budaya dan negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalitas) dan loneliness (privatisasi, individuasi).

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...