Oleh: Zaky Muzakir
Kecepatan adalah salah satu unsur berharga dalam sebuah berita. Di
kalangan media, kecepatan yang menjelma sebagai aktualitas ini bahkan
acap menjadi ukuran gengsi. Kalah cepat menayangkan berita dibanding
media tetangga, terasa sebagai pukulan telak.
Tak heran media yang sedang Anda baca ini pun menempatkan unsur
“aktual” dalam slogannya di urutan pertama, sebelum diikuti “tajam” dan
“terpercaya”.
Tapi, kini media tidak lagi hanya bersaing dengan sesama media. Soal
aktualitas, Anda bersama seluruh khalayak ramai bisa mengalahkan media
konvensional.
Saat bom meledak di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott, Mega
Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat silam, misalnya. Sebagian besar rekaman
video awal diambil oleh warga. Konon, video asap mengepul dari Ritz
Carlton dan JW Marriott pascaledakan bom, diambil seorang warga dengan
menggunakan telepon selular pribadi. Rekaman yang kemudian diulang-ulang
sejumlah stasiun televisi itu disebut-sebut sebagai rekaman paling awal
Bom Marriott II.
Kalau saja tragedi mengenaskan ini terjadi satu dekade silam,
informasi tak akan selengkap dan secepat saat ini. Gambar seorang korban
dibopong keluar lokasi ledakan, kecil kemungkinan terekam kamera media
manapun. Hanya keberuntungan yang mampu mengantar wartawan secepat itu
ke lokasi kejadian.
Setelah mampu menangkap kejadian lebih cepat, masyarakat kini mampu
menyebarkan informasi ke khalayak banyak secara simultan. Dengan hanya
bermodalkan sebuah ponsel pintar, masyarakat bisa saling berbagi
informasi yang didapat dengan kecepatan yang tak pernah terbayangkan
sebelumnya.
Sebagai gambaran, seorang warga di sekitar Mega Kuningan mampu
menyusun informasi peristiwa ledakan bom segera setelah terjadi.
Kemudian dengan ponsel pintar, masing-masing berbagi informasi melalui
situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter.
Perkembangan situasi bisa dilaporkan dari menit ke menit dari
lapangan melalui ponsel antar-individu. Karakteristik media massa
konvensional yang melembaga bakal sulit mengalahkannya. Bahkan, ketika
bahan berita sampai ke meja redaksi pun, media butuh waktu lagi untuk
melewati beberapa prosedur. Dalam keadaan genting, seperti Bom Marriott
II, biasanya keputusan-keputusan memang diambil lebih cepat. Beberapa
prosedur pun bisa dilewati. Tapi tetap saja lebih lambat daripada
individu menyebarkan berita lewat ponsel.
Kesimpulannya, teknologi informasi rupanya lebih memihak pada
masyarakat banyak. Jika dulu informasi mengalir deras secara tak
seimbang dari elite pemilik media yang sedikit ke khalayak massa yang
banyak. Kini, informasi juga menyebar antar-individu dengan kecepatan
melebihi kemampuan media massa.
Lantas, bagaimana masa depan media konvensional? Akankah suatu hari
nanti, media massa sebagai sumber informasi ini tergantikan oleh
jurnalisme kolektif individual? Mengingat penetrasi internet dan
kepemilikan gadget canggih yang dimiliki individu pun terus meningkat.
Bisa jadi, pertanyaan itu memang terlalu dini dilontarkan. Sebab,
ketajaman dan keterpercayaan seperti dua kata terakhir dalam slogan
Liputan 6 belum dijawab dengan fasih oleh jurnalis individual. Ketajaman
berita secara teori lebih mudah diraih oleh awak media terlatih dan
profesional. Begitu pula dengan keterpercayaan. Integritas berbagai
media mapan masih terlalu jauh untuk dikalahkan individu.
Tapi yang jelas, masyarakat yang didukung dengan teknologi informasi
dan berbagai situs jejaring sosial sudah mulai mencuri salah satu unsur
kekuatan media massa dalam menyediakan informasi; aktualitas. Sebuah
ancaman yang sudah seharusnya disadari para pengelola media massa.
Tinggal selanjutnya media massa menentukan reaksi atas perubahan sosial
yang sudah terjadi ini. Sebagai penutup, peribahasa berikut bisa menjadi
pegangan yang bijaksana, “If you can’t beat them, join them.”
0 comments:
Post a Comment