Kali ini saya masih membahas soal logika. Namun, tidak akan memperkenalkan jenis logika lainnya. Saya hanya ingin menjelaskan kembali beberapa hal pokok, yang berkaitan dengan materi utama pembahasan logika.
Kata dalam bahasa Indonesia memang bisa dipahami sebagai sesuatu yang menjadi unsur pembentuk bahasa. Misalnya, ada kata: "miskin". Kata ini akan berarti, hanya jika kata ini digabungkan dengan kata lain atau dengan tanda bahasa yang mendukung.
Misalnya, "Oohh ... , miskin ya?" atau, "Miskin ...?"
Pada kalimat pertama, kata miskin bisa berarti dua hal. Hal ini menunjukkan ungkapan ketidaktahuan seseorang tentang keadaan sebelumnya yang bersangkutan dengan pengertian "miskin" itu sendiri. Kedua, ungkapan yang bernada merendahkan dapat menjadi ungkapan seseorang yang berhadapan dengan keadaan seseorang yang memang "miskin".
Untuk kalimat kedua, kita akan mengerti kalau kata "miskin" di situ akan berarti pertanyaan. Juga bisa berarti ungkapan ketidakpercayaan.
Demikianlah, cara kita memahami "miskin" sebagai sebuah kata.
Walaupun begitu, "miskin" juga bisa berarti istilah. Artinya, "miskin" diberikan pengertian yang bersifat khusus dan akan dipahami secara berbeda dalam bidang tertentu. (Bandingkan uraian ini dengan apa yang sudah diperjelas oleh Pusat Bahasa)
Misalnya, dalam agama Islam, ada ungkapan:
"Kemiskinan itu akan mendekatkan seseorang pada penolakan beragama".
Pun dalam agama Kristiani, khususnya kaum Protestan, memiliki keyakinan:
"Kemiskinan itu harus ditolak, karena kalau kita kaya di dunia ini, maka kita akan kaya pula di Surga".
Tapi tidak begitu dalam agama Budhis. Ini tersirat dalam keyakinan:
"Dengan menjadi pengemis, maka seseorang akan mengerti makna kehidupan yang sebenarnya".
(untuk uraian dalam agama ini, mohon maaf kalau misalnya ada kekeliruan. ralat akan dilakukan apabila ada yang keberatan )
Masuk pada bidang sosial, politik, ekonomi, maupun budaya, "miskin" memiliki satu pengertian yang kompleks atau amat luas. Istilah ini dapat diartikan macam-macam, sesuai dengan "maksud", "tujuan", atau "kepentingan" yang ada dalam penggunaan "miskin" itu.
Misalnya, ketika ditetapkan Millenium Development Goals oleh masyarakat dunia, khususnya oleh PBB, "kemiskinan itu harus dapat diatasi pada tahun 2015" adalah slogan yang membawa dampak politis yang luar biasa. Masing-masing negara, tentunya akan membuat kebijakan ekonomi yang mengarah pada tujuan tersebut. Begitu juga para politisi akan memakai ini sebagai bagian dari kampanye.
Selain itu, hal ini juga beraspek budaya, karena "miskin" lalu dikaitkan dengan sikap hidup manusianya. Pun berhubungan dengan sosial, karena "miskin" tidak mungkin berada di luar konteks bermasyarakat.
Nah, dengan penjelasan yang serba sedikit, kita mungkin dapat membayangkan seperti apa bedanya kata dan istilah. Hal ini sebenarnya terletak pada bagaimana kita mengartikannya, atau bagaimana kita mendefinisikannya. Semakin teknis suatu kata didefinisikan, maka kata itu secara langsung akan menjadi istilah.
Lalu, terkait dengan apa yang disebut dengan kalimat dan pernyataan, kita dapat membedakannya secara mudah sebenarnya. Misalnya dalam contoh di bawah ini.
1. "Adik makan nasi goreng sebelum berangkat sekolah."
2. "Adik itu makan nasi goreng sebelum berangkat sekolah."
Contoh 1 ini merupakan kalimat lengkap, karena ada S+P+O+K ("Adik" = Subjek + "makan" = Predikat + "nasi goreng" = Objek + "sebelum berangkat sekolah" = Keterangan).
Contoh 2 ini merupakan pernyataan, serta terdiri dari S+K+P ("Adik" = Subjek + "itu" = Kopula + "makan nasi goreng sebelum berangkat sekolah" = Predikat)
Dengan memperhatikan contoh tersebut, kita dapat mengenali bahwa kalimat dan pernyataan hanya berbeda tipis saja, yaitu dibedakan dengan kata "itu". Dalam bahasa Inggris, kata "itu" yang dimaksud sebenarnya adalah kata "is", yang artinya "adalah" itu sendiri. Secara lebih jauh, ciri yang membuat pernyataan itu dibedakan dari kalimat adalah sisi pengujiannya. Kalimat (1) di atas, tidaklah perlu diuji isinya benar ataupun tidak karena sudah memenuhi syarat kalimat lengkap. Sedangkan dalam pernyataan (2), hal ini perlu dibuktikan kembali apakah isinya benar atau salah, khususnya untuk fakta yang ada pada Predikat dari pernyataannya tersebut.
Jadi, kalau kita boleh mengambil kesimpulan secara singkat, kalimat yang benar hanya membutuhkan sisi pengujian atas susunannya, sedangkan pernyataan yang benar hanya akan benar bila teruji sisi susunannya (formal) maupun sisi isi yang terkandung di dalamnya (material).
sumber: belajar-filsafat
Bila anda merasa blog ini membawa manfaat bagi anda, dan jika anda merasa tidak mempunyai waktu untuk berkomentar di blog ini, maka anda bisa me Like Filsafat dan Psikologi on Facebook untuk blog ini pada samping kanan blog ini. Semoga bermanfaat...
0 comments:
Post a Comment