Dalam Ilmu Sosial Profetik, humanisasi artinya memanusiakan manusia,
menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari
manusia. Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja
perlu segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada
humanisme antroposentris, konsep humanisme Kuntowijoyo berakar pada
humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara
utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya.
Humanisme Barat lahir dari pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja
yang bersifat dogmatis pada abad Pertengahan. Pandangan antroposentris
beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan tapi pada manusia.
Etosnya adalah semangat menghargai nilai-nilai yang dibangun oleh
manusia sendiri. Peradaban antroposentris menjadikan manusia sebagai
tolok ukur kebenaran dan kepalsuan, untuk memakai manusia sebagai
kriteria keindahan dan untuk memberikan nilai penting pada bagian
kehidupan yang menjanjikan kekuasaan dan kesenangan manusia.
Antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia, karenanya
merasa cukup dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris merasa
menjadi penguasa bagi dirinya sendiri. Tidak hanya itu, ia pun bertindak
lebih jauh, ia ingin menjadi penguasa bagi yang lain. Alam raya pun
lalu menjadi sasaran nafsu berkuasanya yang semakin lama semakin tak
terkendali.
Dengan rasio sebagai senjatanya, manusia antroposentris memulai
sejarah kekuasaan dan eksploitasi atas alam tanpa batas. Modernisme
dengan panji-panji rasionalismenya terbukti menimbulkan kerusakan alam
tak terperikan terhadap alam dan manusia. Ilmu akal adalah ilmu perang
yang metode dan taktik perangnya telah ditulis dengan amat cerdas oleh
Descartes melalui semboyannya “Cogito Ergo Sum”. Melalui ilmu perang
Descartes, peradaban modern menciptakan mesin-mesin perang terhadap alam
berupa teknologi canggih untuk menaklukkan dan mengeksploitasi alam
tanpa batas, juga mesin-mesin perang terhadap manusia berupa
senjata-senjata canggih supermodern, bom, bahkan juga senjata pemusnah
masal. Jadi, alih-alih humanisme antroposentris itu berhasil melakukan
proses humanisasi, yang terjadi justru adalah proses dehumanisasi.
Kuntowijoyo lalu mengusulkan humanisme teosentris sebagai ganti
humanisme antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia.
Dengan konsep ini, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi
tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri.
Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas
tapi transendensi. Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada
dalam tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi (obyektivasi teknologis,
ekonomis, budaya dan negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan
kriminalitas) dan loneliness (privatisasi, individuasi).
0 comments:
Post a Comment