By Hasan Mawardi
Dalam perspektif Alquran (Islam), manusia adalah makhluk unik. Di satu sisi, ia disanjung sedemikian tinggi, bahkan melebihi ketinggian malaikat sebagai makhluk spiritual sampai mereka disuruh Tuhan untuk bersujud dan mengakui keunggulannya. Sedangkan di sisi yang lain, ia dicerca, direndahkan serta dihinakan, bahkan lebih hina dari binatang.
Karena keunikannya itu, berbagai disiplin ilmu pengetahuan tentang manusia kemudian lahir. Salah satu disiplin ilmu pengetahuan tersebut adalah psikologi. Yaitu ilmu yang melihat dan menempatkan manusia sebagai obyek kajiannya, khususnya perilaku manusia. Bahkan, karena keunikannya itu pula, mazhab-mazhab psikologi seperti Psikoanalisa, Behaviorisme, dan Humanisme antroposentris tidak bisa memberikan jawaban tuntas tentang perilaku manusia. Masing-masing mazhab hanya mampu melihat manusia dari satu sisi pandang saja.
Sebagai disiplin ilmu baru, Psikologi Islam lahir sebagai antitesis terhadap berbagai Madzhab Psikologi Barat modern. Dalam wataknya yang terbuka, saat ini, disiplin ilmu Psikologi Modern harus mere-definisi dirinya, sehingga Psikologi Islam bisa menjadi salah satu alternatif yang dapat ditawarkan. Meskipun Psikologi Barat berfokus pada ego sebagai subjek dan objek yang menjadi landasan sentral paham hedonisme dan individualisme Barat, sedangkan Psikologi Islam mendasarkan pada spiritualisme, namun keduanya memiliki titik singgung dimana manusia sebagai obyek kajiannya.
Seiring dengan kesadaran kembali spiritualisme di dunia Barat, agama kini mulai dilirik kembali sebagai solusi alternatif. Di Indonesia, beberapa universitas seperti UI, UIN, UMS, UII, UGM, Unisba dan lainnya menawarkan mata kuliah Psikologi Islam. Asosiasi Psikologi Islam (API) bahkan sudah menjadi bagian dari HIMPSI, dan International Association of Muslim Psychologist. Namun, bangunan konsepsi Psikologi Islam yang integral belum berdiri, kerangka teori belum utuh, penjabaran terapan belum baku, bahkan penelitian-penelitian empirik yang ekstensif untuk mendukung teori dan terapannya belum dilakukan secara massif. Selain itu, fokusnya masih diarahkan pada wilayah Psikoanalisis.
Jika kita amati, wilayah kajian Psikoanalisis dalam pengembangan Psikologi Islam memang yang paling menyolok, karena menyediakan perbedaan yang paling kontras dengan konsepsi Alquran tentang manusia. Hampir setiap hal yang dikemukakan oleh psikoanalisis merupakan kebalikan dari apa yang menjadi konsepsi dasar Islam tentang manusia. Sementara psikoanalisis bukan aliran pemikiran yang dominan di dalam psikologi modern.
Dalam konsepsi Islam, tingkah laku adalah ekspresi jiwa manusia. Dari dulu manusia bertanya apa itu jiwa? Ilmu yang berbicara tentang jiwa antara lain; filsafat, tasawuf, dan psikologi. Kalau Psikologi yang lahir di Barat dimensinya hanya bersifat horizontal karena basic-nya sekuler. Sedangkan dalam Islam jiwa dibahas dalam konteks hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Psikologi Barat Vs Islam
Dalam psikologi Barat, psikologi bekerja mengurai tentang tingkah laku, memprediksi dan terkadang mengendalikan tingkah laku yang bersifat horisontal. Sementara dalam Islam yang diwakili ilmu akhlak dan tasawuf --dua Ilmu yang berbicara tentang jiwa-- berbicara bagaimana mengubah tingkah laku menjadi baik dan bagaimana jiwa dekat dengan Tuhan. Jika Psikologi Barat berbicara tentang perilaku yang nampak (nyatanya), Psikologi Islam berbicara tentang manusia seutuhnya (ideal) dengan mengembangkan potensi-potensi kemanusiaan yang dimiliki.
Dalam tinjauan agak spesifik, Psikologi Barat sudah tidak lagi memadai untuk meneliti kejiwaan keberagamaan seseorang, seperti kegagalannya memahami fenomena revolusi Islam Iran pada masa Khomaeni. Pada saat itu, kematian sebagai syahid menjadi dambaan setiap masyarakat Iran, sehingga lahirlah gagasan atau aliran the indigenous psikologi atau psikologi pribumi sebagai revisi terhadap kekeliruan psikologi Barat.
Perbedaan lain antara keduanya adalah pada ranah metodologi. Kalau Psikologi Barat adalah hasil renungan dan eksperimen labolatorium, sedangkan psikologi Islam, sumber informasi utamanya adalah Alquran, Hadis Nabi saw, filsawat dan tasawuf untuk kemudian dijadikan barometer penghayatan dan pengalaman kejiwaan, serta eksperimentasi labolatorium sebagai upaya verifikasi, falsifikasi dan perbandingan seperti yang dilakukan para psikolog Barat.
Karena itu, --paling tidak untuk sementara ini-- dibanding eksperimentasi labolatorium, ahli-ahli psikologi Islam lebih banyak mengutip dalil Alquran dan Hadis serta warisan-warisan (turats) klasik Islam. Ketika berbicara kecerdasan spiritual misalnya, psikologi Barat nampak kering. Tetapi psikologi Islam yang berbasis wahyu, kecerdasan spiritual itu dibahas sangat mendalam, luas dan indah. Kenapa? Karena dimensi spiritual merupakan wilayah agama.
Namun kita harus akui, meskipun baju Psikologi Barat nampak ada bolong di sana-sini, kiprahnya hingga kini tetap masih dominan dan populer. Karena kepopuleran dan kekokohan bangunan teorinya, sebagian besar psikolog berbasis psikologi Barat tidak mau mengakui kelahiran ”adik” barunya, Psikologi Islam. Bahkan oleh mereka, adik baru ini dianggap sebagai ”anak haram” yang tidak ilmiah. Sebagian mereka nampak tidak dewasa, cemburu, tidak suka dan khawatir keberadaan sang adik nanti akan melindas eksistensinya yang sudah mapan. Sebagian lagi nampak lebih dewasa, bahkan menaruh harapan baru pada sang adik, Psikologi Islam, yang baru lahir begitu didambakan oleh banyak orang. Mereka dengan gembira menyambut kehadirannya dan menerimanya sebagai anggota baru dari The big family of psychology. Sang adik diharapkan dapat menjadi mazhab pelengkap dan alternatif dari mazhab-mazhab psikologi yang ada sekarang, terutama pada tingkat psikologi terapan.
Maka, terlepas dari pro dan kontra kakak-kakaknya, Psikologi Barat sangat berjasa besar terhadap kelahiran Psikologi Islam. Tanpa Psikologi Barat, kelahiran Psikologi Islam pasti akan terus menjadi wacana, dan karena itu, ia tidak dapat berdiri sendiri. Jadi, sebesar apapun kelak Psikologi Islam eksis, secara historis, tidak akan pernah bisa lepas dari psikologi Barat. Ia datang sebagai alternatif dan pelengkap, bukan sebagai saingan atau lawan.
Namun, di tengah optimisme kelahiran Psikologi Islam sebagai disiplin keilmuan yang kokoh, kita patut merenungkan apa yang pernah dilontarkan oleh P. Huntington, Profesor di Harvard University, dalam bukunya “The Crash of Civilization”. Ia menyebutnya akan ada benturan antar peradaban dunia Islam dengan Barat. Ia meramalkan secara simplistis bahwa peta peradaban dunia akan berubah menjadi tiga sekte besar: Islam, Kristen dan Konfusianisme. Islam mewakili masyarakat dan pikiran kaum muslimin (yang sebagian di negara ketiga dan dunia belahan Timur) dan Kristen mewakili budaya dan masyarakat dunia Barat dan Eropa, serta Konfusianisme mewakili China, Jepang dan sejenis ajarannya.
Terlepas dari akan terbukti atau tidak hipotesis Huntington tersebut, para ilmuan, pemerhati dan peminat psikologi Islam patut mengantisipasi, bagaimana jika hal ini benar-benar terjadi? Setelah runtuhnya komunisme, maka musuh terbesar Barat diramalkan adalah Islam. Paling tidak, dunia Barat nampak berusaha mengarahkan perkembangan dunia ke arah prediksi P. Huntington, dan menganggap Islam --minimal Iran saat ini-- sebagai ancaman terbesar dunia Barat ke depan<>
0 comments:
Post a Comment