Oleh Vina Anom pada 7 September 2010
Sebuah Trilogi
Penerbit : PT. Gramedia
Penulis : Y.B. Manunwijaya
Tebal : 799 hal
Ini kisah tentang tiga perempuan yang hidup di balik dinding-dinding istana yang menyimpan ribuan rahasia dan intrik-intrik jahat. Kisah rakyat yang dikembangkan dari Babad tanah Jawi dan berbagai sumber oleh Y.B. Mangunwijaya dicipta dan dibumbui dengan humor-humor khas Rama Mangun. Sehingga tetap relevan untuk generasi masa kini. Sebagai sumber bacaan untuk mengetahui fakta sejarah yang dipaparkan dengan gaya novel.
Kisah perempuan pertama adalah tentang Rara Mendut atau juga dijuluki Rara Ireng. Sebagai gadis pantai utara, Mendut memang berkulit hitam. Namun warna kulit tersebut tak mengurangi pancaran kecantikan dan kemolekan tubuhnya. Tidak seperti perempuan lainnya, Mendut tidaklah anggun nan lemah gemulai. Dia adalah gadis trengginas dan tak pernah ragu menyuarakan isi pikirannya. Sosoknya dianggap menyebalkan oleh tatanan lingkungan istana di mana perempuan diharuskan bersikap serba halus dan serba patuh. Tetapi ia tak gentar. Baginya, lebih baik menyambut ajal di ujung keris sang Tumenggung daripada dipaksa melayani nafsu sang panglima tua.
Demi menolak dirinya dipersunting oleh Tumenggung Wiraguna, Mendut harus membayar pajak sebesar tiga real. Mendut hanyalah budak rampasan dari desa Telukcikal, Pati. Dia hanya putri boyongan yang dipersembahkan kepada sang Tumenggung karena jasanya menundukkan pemberontakan Adipati Pragola yang memerintah Pati. Sudah menjadi tradisi bila satu daerah yang memberontak pemerintahan Mataram berhasil ditundukkan, maka harta disita dan diserahkan pada Istana Mataram. Tak terkeculai, para gadis yang tinggal di daerah pemberontakan. Gadis yang cantik akan dijadikan selir sang Tumenggung, sedangkan yang lain boleh dimiliki para prajurit. Untuk membayar pajak kepada Tumenggung Wiraguna, Mendut tak gentar untuk menggunakan segala cara mendapatkan uang.
Maka jadilah, di warung pasar, dekat persabungan ayam, Rara Mendut dan dayang-dayangnya memperoleh tempat bagus untuk berjualan rokok. Sesuai dengan kehendak Tumenggung Wiraguna, mereka berjualan di belakang tirai yang oleh Mendut dipilih berwarna merah jambu elok. Tirai dipasang tegap mirip kelir wayang kulit, dan keseluruhannya terhias serba seni. Peristiwa penjualan rokok oleh seorang putri boyongan dari Pati yang cantik molek merupakan lakon yang sangat menarik. Mendut menjual rokok bekas hisapannya. Diterangi sebuah lampu blencong di belakang kelir, muncullah pada layar siluet Rara Mendut yang genit memukau.
Bayangan Mendut melenggok-lenggok mengambil sebatang rokok, lalu bergaya dimasukkan ke mulut. Dan itulah yang membuat penjualan rokok berhasil luar biasa. Adegan si molek di balik tirai yang membuat para lelaki rela mengantre dan memburu puntung rokok yang paling pendek. Sesudah beberapa hari usaha puntung rokok itu berhasil, Mendut bisa membayar pajak kepada Panglima. Seorang Panglima yang jatuh hati pada kecantikan dan kegarangan Mendut harus rela persuntingannya tertunda, bahkan terancam gagal.
Dan di balik keberanian Mendut itu ada cinta yang diperjuangkan agar diri tak terjamah orang lain. Ialah Pranacitra, pemuda mualim dan nakhoda dari Pekalongan. Anak dari Nyai Singabarong, saudagar kaya yang telah berlayar ke berbagai negara untuk berdagang. Terakhir kali Mendut dan kekasihnya itu bertemu saat pranacitra pergi meninggalkan Pekalongan menuju Mataram. Kepergian untuk menemukan jati diri melepaskan diri dari kebesaran sang Ibunda. Bersama Nyai Singabarong, Pranacitra laksana bayangan kecil di bawah layar besar kepunyaan sang Ibu. Karena kepergiannya itulah dia tak tahu peristiwa penyerbuan tentara Mataram dan penculikan gadis Telukcikal si Mendut.
Mengetahui Mendut diculik oleh Wiraguna, Paracitra berkeras menyelinap ke istana dan mengajak Mendut melarikan diri. Perang tunggal antara Wiraguna dan Pranacitra tak dapat dihindarkan. Tentu saja, seorang panglima yang terbiasa menaklukkan perang besar sangat mudah menjatuhkan seorang nakhoda. Pranacitra jatuh di hadapan Mendut. Dan saat terakhir Wiraguna hendak menghunjamkan kerisnya pada Pranacitra, Mendut spontan berdiri dan berlari melindungi Pranacitra. Tak pelak keris Wiraguna menghujam jantung Mendut yang kemudian rebah di atas kekasihnya.
Kisah perempuan yang kedua adalah Genduk Duku, sahabat Rara Mendut yang membantunya menerobos benteng Istana dan melarikan diri dari kejaran Wiraguna. Semua wanita di seluruh Kerajaan Mataram adalah milik Susuhunan Ing-Ngalaga Sayidin Panatagama, apalagi perempuan-perempuan rampasan dari negeri yang pernah memberontak. Rara Mendut sudah dianugerahkan Sri Baginda kepada Panglima besarnya. Maka letak masalahnya sungguh tidak pada soal asmara, tetapi pada kenekatan melawan wewenang keramat dan hak kenegaraan mengenai setiap wanita dalam kerajaan.
Belajar dari sikap dan kepribadian Rara Mendut, Genduk Duku sadar betapa mulia sebenarnya derajat dan martabat rakyat kecil. Betapa merdeka dan segar udara yang dihirup rakyat di ladang, di lereng, di sawah, dan di pantai. Lain sama seklai dari nasib di sangkar dalam kisi-kisi kayu jati berperada palsu di Puri. Dan berkat pertolongan Bedara Pahitmadu, kakak Tumenggung Wiraguna yang menaruh belas kasih pada Rara Mendut, Genduk Duku bersama pengawal almarhum Pranacitra berhasil sampai di Pekalongan. Kepergiannya ke daerah pantai utara itu untuk menyampaikan berita duka kepada Ibunda Pranacrita. Dilanjutkan ke Telukcikal bukan hanya untuk menyampaikan berita duka kepada sanak saudara Mendut, tetapi juga untuk tinggal bersama keluarga Mendut.
Di Telukcikal itulah Duku bertemu dengan Slamet yang kemudian menjadi suaminya. Keduanya membina keluarga dan setelah menunggu sewindu lamanya baru dikaruniai seorang anak perempuan, Lusi namanya. Keluarga itu hidup di tengah suasana perseteruan antara Wiraguna dan Pangeran Aria Mataram, putra mahkota yang kelak bergelar Sunan Amangkurat I.
Dan perempuan yang ketiga adalah Lusi Lindri. Dia adalah anak Genduk Duku yang dipilih menjadi anggota pasukan pengawal Sunana Mangkurat I oleh Ibu Suri. Lusi Lindri sudah belajar untuk tidak lagi sangat peduli tentang di mana ia diletakkan. Sebab Lusi berasal dari Pati dan terbiasa mengurus kuda, dirinya tak peduli dicap binal, tak tahu adat, dan tak tahu malu. Bila melihat kuda-kuda jantan meloncati punggung kuda betina mereka, Lusi semakin keras dalam tekad.
Dunia Lusi bukan dunia ibunya yang kini mengungsi di wilayah Kedu yang aman dan damai. Di tengah ketenangan lembah Sungai Praha dan Sungai Elo. Dunia Lusi adalah dunia benteng dinding bata keras, dunia meriam-meriam sapujagad. Sekian kyai dan nyai moncong mesiu, senapan-senapan berlaras panjang dari Inggris, pistol seberat kelapa dari Portugal, dan keris empu-empu yang masih mahir tentang daya serang pola pamor serta racun warangan.
Tiga perempuan yang memperkaya khazanah legenda perempuan tangguh di Indonesia. Ketiganya digambarkan sebagai perempuan desa yang hidup di tengah perseteruan Kerajaan. Pemaparan Rama Mangun yang mengisahkan kekuatan perempuan penakluk hati panglima dan peneguh kepribadian diri. Lingkungan desa yang merdeka membesarkan ketiganya menjadi perempuan dengan kepercayaan diri dan kekuatan yang anggun memancar. Buku ini sangat layak dijadikan bahan rujukan pustaka untuk melihat lebih jauh kepribadian asli perempuan Jawa. Penceritaan yang menampilkan perbandingan antara perempuan desa dan perempuan yang dibesarkan di lingkungan istana.
0 comments:
Post a Comment