Salah satu dari empat keutamaan agung (cardinal virtues) adalah prudence (empat keutamaan agung adalah prudence, justice, temperance, dan fortitude atau courage). Apa sebenarnya isi atau hakikat dari keempat keutamaan ini? Apakah keempat keutamaan ini bisa menjadi keutamaan atau karakter dalam kehidupan kita? Bagaimana mencapai karakter yang berkeutamaan prudence, justice, temperance, dan fortitude atau courage?
Apakah “prudence” tepat diterjemahkan sebagai “kebijaksanaan”? Prof K. Bertens dari Universitas Atma Jaya mengusulkan “prudence” diterjemahkan sebagai prudensi saja. Apalagi bunyi dari kata ini tidak asing di telinga kita (bandingkan asuransi prudensial yang begitu terkenal sehingga namanya familiar di telinga kita). Selanjutnya saya menggunakan kata prudensi sebagai terjemahannya (mengikuti usul Prof Bertens).
Kata ini sendiri berasal dari bahasa Latin prudentia, yang artinya foresight atau sagacity. Kata ini masuk ke dalam bahasa Prancis kuno sebagai prudence sejak abad ke-13, dan dari sana Bahasa Inggris mengadopsi dan menggunakannya seperti yang digunakan dalam Bahasa Prancis kuno tersebut. Perhatikan bahwa kata ini bersinonim dengan kata foresight yang dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai semacam kemampuan melihat jauh ke depan, kemampuan “membaca” dan memahami sesuatu yang akan terjadi. Kata ini juga bersinonim dengan kata sagacity dalam Bahasa Inggris yang artinya kemampuan melakukan atau mengambil keputusan yang baik. Dalam arti itu secara etimologis sebenarnya sudah bisa dikatakan bahwa keutamaan prudensi mendeskripsikan keutamaan atau karakter yang dimiliki seseorang yang mampu mengambil keputusan praktis secara tepat, bukan secara gegabah atau tanpa pikir panjang, tetapi berdasarkan kemampuan membaca dan memandang jauh ke depan, kemampuan melihat berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
Sering keutamaan ini diasosiasikan dengan karakter lainnya seperti wisdom (kebijaksanaan), insight (kemampuan menangkap pengertian tertentu secara tiba-tiba, biasanya setelah pencarian atau refleksi panjang akan sesuatu masalah), dan knowledge (pengetahuan). Ketiga karakter ini mudah sekali untuk dijelaskan. Berhadapan dengan sebuah masalah konkret yang menuntut pemecahan dan pengambilan keputusan, seseorang yang memiliki keutamaan ini tidak akan memutuskan sesuatu secara gegabah. Dia akan membiarkan atau menghantui dirinya dengan berbagai pertanyaan dan permasalahan untuk beberapa saat (kadang-kadang juga lama). Dalam permenungan itulah dia mencoba menimbang masalah tersebut dari banyak sudut pandang. Di sinilah dia melihat sesuatu secara luas, memandang jauh ke depan untuk menaksir apa yang kira-kira akan terjadi atau muncul. Sering terjadi bahwa dalam permenungannya mencari jawaban atas permasalahan tersebut, tiba-tiba dia menemukan jawaban, inilah insight. Sebagai seorang yang memiliki keutamaan prudensi, orang ini tidak akan langsung mengambil keputusan berdasarkan insight tersebut. Dia akan terlebih dahulu menguji insight untuk mencapai pengetahuan, jadi harus beralih dari insight ke pengetahuan. Hanya pengetahuanlah yang bisa diuji. Ketika pengetahuannya telah teruji, dia akan mengambil keputusan atas masalah yang dihadapi. Keputusan yang diambil ini akan mendefinisikan orang ini sebagai orang bijak (wise) atau tidak bijak (unwise).
Prudensi sebagai Bapak dari Semua Keutamaan
Bagi orang-orang Yunani kuno, filsuf maupun orang biasa, dan para pemikir Kristiani, terutama Thomas Aquinas, keutamaan prudensi diposisikan sebagai alasan/penyebab (cause), ukuran (measure) dan bentuk (form) dari semua keutamaan lainnya. Prudensi bagi mereka adalah autiga virtutem atau penopang/pembawa/penarik-kereta dari semua jenis keutamaan lainnya. Dengan kata lain, prudensi diletakkan sebagai dasar atau fundamen bagi keutamaan-keutamaan lainnya.
Mengapa demikian? Prudensi menjadi alasan/penyebab (cause) bagi keutamaan-keutamaan lainnya dalam arti bahwa keutamaan-keutamaan yang didefinisikan sebagai “kemampuan yang tersempurnakan” dari manusia selaku makhluk rohani (dalam pengertian lama, yakni manusia yang memiliki inteligensi dan kehendak bebas), memperoleh kepenuhannya hanya ketika keutamaan-keutamaan itu dibangun di atas prudensi. Artinya, keutamaan-keutamaan lainnya dibangun di atas kemampuan dan karakter manusia dalam mengambil keputusan yang tepat pada waktu yang tepat. Misalnya, Anda bisa hidup dalam keutamaan keugaharian (temperance) hanya ketika Anda sudah memiliki kebiasaan (habit) memutuskan sesuatu secara tepat tindakan-tindakan apa yang mau kamu ambil ketika berhadapan dengan masalah-masalah konkret.
Keutamaan prudensi juga menjadi ukuran (measure) bagi keutamaan-keutamaan lainnya karena keutamaan ini menjadi model bagi tindakan etis yang baik. “Sebuah karya seni hanya benar dan nyata karena korespondensinya dengan pola-pola dari prototipe-prototipenya dalam pikiran sang seniman. Dalam cara yang sama, kegiatan yang bebas dari manusia adalah baik karena korespondensinya dengan pola-pola prudensi” (Josef Pieper). Misalnya, seorang pialang saham menggunakan pengalamannya dan semua data yang tersedia sehingga dia sampai pada sebuah keputusan untuk menjual saham A pada pukul 2 esok harinya dan membeli saham B hari ini. Isi dari keputusan ini (misalnya saham itu sendiri, jumlah, waktu dan sarana) adalah hasil dari sebuah tindakan prudence, sementara tindakan melaksanakan keputusan itu sendiri bisa jadi melibatkan keutamaan-keutamaan lainnya seperti fortitude (melakukan sesuatu di hadapan ketakutan akan kegagalan) dan justice (melakukan pekerjaannya secara baik karena prinsip keadilan kepada perusahaan tempatnya bekerja dan kepada keluarga sendiri yang dia nafkahi). “Kebaikan” dari tindakan aktual itu sendiri diukur berdasarkan keputusannya mengambil tindakan-tindakan berdasarkan keutamaan prudensi.
Dalam konteks filsafat Yunani dan filsafat skolastik, “forma” adalah karakter khusus dari sebuah benda yang membuat benda itu sebagaimana adanya. Artinya, prudensi menjadi forma bagi keutamaan-keutamaan lainnya. Prudensi menjadi semacam esensi dari keutamaan-keutamaan lainnya. Misalnya, tidak semua tindakan mengatakan yang benar adalah baik, terutama ditimbang dari keutamaan kejujuran (honesty). Apa yang menyebabkan mengatakan yang benar (telling the truth) sebagai keutamaan atau tidak adalah apakah tindakan itu dilakukan secara prudence atau tidak. Memberitahu pesaing Anda semua hal yang berhubungan dengan rahasia perusahaan Anda tentu bukan merupakan sebuah tindakan yang berkeutamaan.
Bagi orang Kristen, beda antara prudensi dan penipuan yang disengaja terletak pada maksud atau intensi (intent) yang melatarbelakangi sebuah pengambilan keputusan. Dalam memahami dunia, orang Kristen biasanya mengikutsertakan juga eksistensi Allah, hukum kodrat dan implikasi-implikasi moral dari setiap tindakan manusia. Dalam arti ini, prudensi tentu berbeda sekali dengan penipuan di mana yang misalnya mengatasnamakan kebaikan adikodrati. Misalnya, keputusan yang diambil oleh orang-orang Kristen tempo dulu untuk lebih baik mati dibunuh sebagai martir daripada menyangkal iman mereka sendiri, ini dianggap sebagai keputusan yang prudence (bijak). Tentu bagi orang yang tidak beriman, keputusan yang bijak adalah yang menolak mempercayai eksistensi Tuhan, dan karena itu mereka tidak akan pernah mati sahid.
Bagian-bagian Penting dari Prudensi
Dalam filsafat skolastik, bagian-bagian penting dari keutamaan prudensi perlu diperikan atau dirinci. Bagian-bagian itu harus ada dalam setiap tindakan manusia agar tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai tindakan yang berkeutamaan. Nah, bagian-bagian dari keutamaan prudensi itu adalah:
- Memori — ingatan atau memori yang akurat, yakni memori yang benar dan sesuai kenyataan.
- Inteligensi — kemampuan memahami prinsip-prinsip pertama (first principles).
- Docilitas—jenis dari sifat memiliki pikiran yang terbuka yang memampukan seseorang mengenal dan membedakan secara benar berbagai varian benda-benda dan situasi dari pengalaman, dan tidak membiarkan dirinya terpenjara dalam praduga apapun dari pengetahuan dan kesadaran yang keliru. Ini juga menyatakan kemampuan seseorang dalam memanfaatkan seluruh pengalamannya dan otoritas orang lain untuk membuat keputusan yang bijak.
- Kemampuan berpikir cepat (solertia) — kesegeraan dalam memahami situasi yang dihadapi.
- Memiliki kemampuan berpikir diskursif (ratio) — kemampuan melakuakn penyelidikan (research) dan membandingkannya dengan alternatif-alternatif tindakan lainnya yang barangkali tersedia.
- Kemampuan membaca jauh ke depan (foresight atau providentia) — kemampuan mengestimasi apakah tindakan-tindakan tertentu jika direalisasikan akan membawa kepada kebaikan atau justru malah kehancuran.
- Circumspection — kemampuan membaca dan memadukan seluruh keadaan yang relevan sebagai yang diperhitungkan dalam setiap pengambilan keputusan.
- Peringatan (caution) — kemampuan mengurangi risiko.
Putusan yang Bijak
Deskripsi di atas membantu kita untuk menjawab pertanyaan, “Seperti apakah putusan yang bijak itu?” Dalam etika, putusan yang bijak adalah putusan yang mempertimbangkan sungguh-sungguh lingkungan (situasi dan kondisi) untuk menentukan manakah tindakan tertentu yang baik secara moral. Umumnya, pengambilan keputusan yang bijak dalam ranah etika itu mengimplikasikan bahwa dua orang bisa saja menimbang lingkungan (situasi dan kondisi) secara berbeda, dan karena itu mengambil keputusan etis secara berbeda pula.
Misalnya, apakah sebuah perang dapat dikatakan sebagai baik atau buruk secara moral? Dalam menjawab pertanyaan ini, kedua orang yang terlibat di dalamnya harus menimbang apakah sebuah pemerintahan yang memutuskan berperang dengan negara lain yang mengancamnya akan lebih sengasara dan menderita dari musuhnya atau sebaliknya? Bahwa kemudian orang memutuskan untuk tidak melakukan perang karena kerugian yang akan diderita lebih besar dibandingkan dengan musuh, keputusan semacam ini dikategorikan sebagai keputusan yang bijak.
Atau, dalam aksus lainnya. Ada seseorang yang menderita penyakit mematikan dan yang sebelumnya tidak pernah mengalami suatu perawatan konvensional pasti akan mendengar atau diberitahu oleh petugas kesehatan mengenai perawatan konvensional tersebut, apa maksudnya, apa prosedurnya, dan sebagainya. Untuk memutuskan apakah dia akan memilih perawatan konvensional atau tidak, dia dituntut untuk menimbang juga biaya, waktu perawatan, kemungkinan berkurangnya manfaat, penderitaan yang mungkin timbul, ketidakmampuan, kemungkinan kematian, dan sebagainya. Dia juga harus menimbang keuntungan-keuntungan yang mungkin dicapai bagi orang lain yang di kemudian hari mengalami hal yang kurang lebih sama.
0 comments:
Post a Comment