Kawan, percaya nggak, kalau setiap perkara yang telah diciptakan Tuhan itu selalu tidak sendiri. Artinya, selalu ada dua dan berkebalikan. Contohnya, ada atas pasti ada bawah, ada matahari pasti ada bulan, ada laki-laki pasti ada perempuan, ada cantik pasti ada ganteng, ada kaya pasti ada miskin, ada pemerintah pasti ada rakyat, dan begitu terus seterusnya.
Nah, aku kok jadi teringat ya, kawan, tulisan di harian Kompas (30/8) yang biasanya kubaca karena sudah terlanjur berlangganan. Tulisan di Kompas itu berbicara masalah kepemimpinan negeri ini, Kawan, yang dikaitkan dengan sebuah cerita seorang filsuf China bersama murid-muridnya. Ceritanya kira-kira seperti ini, Kawan:
Alkisah, Shen Ren Kong Zi alias Konfusius ditanya salah seorang muridnya, Zi lu namanya.
“Guru, apabila saya dengar suatu ajaran, haruskah saya segera melaksanakannya?”
Konfusius menjawab setengah bertanya, “Ayah dan kakakmu masih ada, mengapa harus kau laksanakan begitu saja?”
Sementara, saat murid lainya, Ran Qiu, bertanya pertanyaan yang sama, Konfusius justru menjawab,
“Ya, segera dilaksanakan!”
Mendengar dua jawaban berbeda atas pertanyaan yang sama, murid Konfusius lainnya bingung dan bertanya, mengapa jawaban gurunya berbeda.
“Ran Qiu sangat lambat sehingga aku dorong. Zi Lu sangat tangkas, maka ia kutahan,” jawab Konfusius.
Nah, sekarang. Apa yang kalian rasakan, Kawan, setelah membaca kisah di atas?,
Betul nggak, apa kataku di awal tadi? jadi orang pun, oleh Tuhan juga diciptakan menjadi dua macam. Menurut cerita di atas, ada dua macam: lambat dan tangkas.
***
Petikan cerita di atas itu ya, Kawan, sebenarnya ada di buku 5 Matahari, karangan Budi S Tanuwibowo. Buku yang berisi 28 kumpulan cerita pendek tersebut, katanya , banyak menyarikan cerita-cerita kearifan dan kebijakan seperti yang telah diajarkan filsul besar China, Konfusius itu, terkait seni memimpin, berpolitik, dan juga bermasyarakat.
Kalau masih nggak percaya, coba deh, yuuk kita sama-sama cek, ada di mana sih, potongan cerita itu?
Di Kompas yang aku baca kemarin itu ya, Kawan, ternyata, Kisah Konfusius bersama tiga muridnya itu ada dalam cerita berjudul Keseimbangan Gas dan Rem. Wah apa tuh?
Begini, Kawan. Budi, si pengarang buku, dengan cerdas telah menyarikan ajaran Konfusius soal keseimbangan dengan pola kepemimpinan. Ia menyindir sesuatu yang ironisnya tak (harus) terjadi belakangan ini di Indonesia. Tau kan, Kawan, pemimpin yang baik itu harusnya pandai menyeimbangkan gas dan rem. Terlalu memainkan gas, mesin juga bisa terlalu panas khan, Kawan?. Tapi main rem terus, akibatnya lambat dan bahkan tak akan maju-maju.
Ini tu sebenarnya juga bukti lho, Kawan, bahwa seorang pemimpin itu juga harus bisa tergas pada saat dibutuhkan. Pemimpin itu harus punya keberanian untuk menerobos, dan menyelesaikan masalah. Tapi di Indonesia, yah, begitulah pemimpin kita. Iya nggak sih, Kawan? jangan-jangan hanya aku saja yang berasumsi demikian?
***
Eh, ngomong-ngomong masalah buku tadi, 5 Matahari, katanya itu ada artinya lho, Kawan. Apa?
Lima matahari merupakan ilustrasi Budi terhadap sumber kehidupan yang hakikatnya dimiliki manusia, yakni (1) matahari yang asli, (2) zhi alias kearifan dan kebijakan, (3)ren atau cinta kasih, (4) yong alias keberanian, dan (5) ilmu pengetahuan.
Menurut seorang peniliti senior, Sukardi Rinakit namanya, sangat jarang pemimpin dan politikus di negeri kita ini yang memiliki empat matahari itu. Mungkin, masih kata Sukardi ni, hanya baru Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), Presiden Indonesia ke IV, saja yang memiliki keempat matahari tersebut. Beliau mampu menggabungkan kearifan, cinta kasih, keberanian, dan ilmu pengetahuan ketika mempimpin negeri ini.
Padahal, sejak masa Yunani Kuno pun, Plato sudah jauh hari mengajarkan bahwa bukan pengusaha atau tentara yang layak menjadi pemimpin sebuah negara itu. Kalian tau nggak, kawan, kenapa kira-kira apa maksud Plato berkata demikian?
Hmm…ya kalau dipikir-pikir sih, benar juga kata Plato.
Gini, Kawan.
Kan kalau pengusaha, nanti ya yang dicari cuman duit dan duit aja, sementara kalau tentara kehormatannya terlalu tinggi.
Lha, terus yang cocok jadi pemimpin itu siapa?
Aku jadi teringat lagi deh, lupa aku tempatnya dimana, aku pernah baca ya kawan, katanya itu, yang cocok jadi pemimpin itu ya orang bijak seperti filsuf. Makanya, kan, ada unen-unen gini:
“Pemimpin yang bijak itu ya filsuf, seseorang tak akan menjadi pemimpin kalau dia tidak menjadi filsuf dulu. Kalau dia sudah menjadi seorang filsuf, pasti dia pemimpin.”
Terlepas benar tidaknya, ya itu cuma pendapat. Kalau kita berbicara mengenai pendapat, semua orang juga bisa berpendapat. Bahkan, saat inipun, kalian juga berhak berpendapat, Kawan. Betul nggak tuh?
0 comments:
Post a Comment