Oleh: Novita Indriasari Psi.
Bagi para ibu, kelahiran seorang anak sebetulnya tidak sesederhana seperti yang terlihat. Sebaliknya, kelahiran seorang anak (khususnya, anak pertama) biasanya membanjiri ibu dengan sejumlah peristiwa baru, terutama terkait dengan perubahan peran dan gaya hidup dalam kehidupan pasangan suami istri, serta perubahan identitas—sebagai ayah dan ibu. Bagi seorang perempuan, pengalaman menjadi seorang ibu merupakan hal yang seringkali dinantikan. Namun ternyata perubahan peran tersebut tidak selalu menimbulkan perasaan-perasaan yang menyenangkan.
Adakalanya perasaan tidak menyenangkan muncul saat kelahiran anak, seperti merasa cemas, panik, dan bahkan menjadi tidak bersemangat. Hal ini dapat terjadi karena persalinan merupakan peristiwa yang melibatkan kondisi emosional yang cukup kuat dan hormon-hormon dalam tubuh ibu pun mengalami perubahan drastis. Kondisi ini dialami oleh sekitar 40-85% wanita yang baru mengalami persalinan (*Baca bagian “insert” di bawah untuk mengetahui ciri-ciri ibu yang lebih rentan terkena Baby Blues Syndrome). Oleh karena itu, wanita yang baru menjadi seorang ibu perlu menyesuaikan dirinya—secara psikologis dan fisik untuk menghadapi tuntutan yang ada. Tanpa dukungan orang-orang terdekatnya seperti suami, keluarga dan teman, ibu yang mengalami kesulitan beradaptasi dengan peran barunya bisa membahayakan bayi dan dirinya sendiri (Kauppi, Kumpulainen, Vanamo, Merikanto dan Karkola, 2008).
Lalu kondisi negatif apa saja yang mungkin dialami oleh ibu baru selama penyesuaian diri? Mari kita kenali lebih lanjut kondisi serta perasaan tidak menyenangkan yang cenderung muncul pada wanita yang baru saja melahirkan anak pertamanya.
Baby blues, pernahkah kamu mendengar istilah ini? Baby blues merupakan suatu kondisi yang dirasakan oleh wanita yang baru melahirkan dan umumnya masih tergolong normal dan belum berbahaya, serta berlangsung hanya selama dua minggu setelah persalinan. Hal ini terjadi karena ibu sedang berupaya menyesuaikan diri dengan peran barunya. Hal-hal yang dapat memicu munculnya baby blues syndrome adalah kebingungan saat mendengar tangisan bayi (dan mengartikannya), rasa nyeri saat memberikan ASI, ataupun karena terganggunya waktu tidur yang biasanya normal.
Saat ibu telah dapat menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut, maka kondisi emosi yang cenderung negatif tersebut akan menghilang perlahan-lahan. Kondisi baby blues ini dapat perlahan-lahan menghilang jika ibu mendapatkan dukungan—emosional maupun dalam pengasuhan anak—dari pasangan, keluarga, dan teman-temannya. Selain itu, perhatian dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh pasangan, berupa pelukan, ciuman, serta kata-kata yang menenangkan, juga akan dapat membuat seorang ibu merasa tenang, aman, dan nyaman.
Lalu bagaimana jika kondisi baby blues tidak menghilang dalam waktu sekitar dua hingga tiga minggu setelah persalinan dan justru bertambah parah? Kondisi ini dinamakan Postpartum Depression. Jika hal tersebut terjadi dan ibu mengalami sejumlah emosi negatif yang tampak dalam perubahan perilaku yang tidak seperti biasanya—misalnya sering menangis, sedih yang berkepanjangan, sering merasa marah, mengalami masalah tidur dan makan, kelelahan yang berlebih, kehilangan minat dalam mengasuh anak atau merasa tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengasuh anak, kehilangan semangat dalam melakukan aktivitas menyenangkan, kecemasan, dan/atau bahkan memiliki pikiran-pikiran yang cenderung buruk sehingga ada keinginan untuk membahayakan diri sendiri atau bayinya—maka ibu perlu mendapatkan perhatian khusus dan penanganan yang tepat. Segera sampaikan kondisi yang dialami tersebut kepada orang-orang terdekat atau kepada pihak profesional (psikolog, dokter yang menangani selama kehamilan dan persalinan).
Semakin cepat kondisi tersebut disadari dan ditangani, semakin mudah bagi ibu untuk melewati masa-masa ini. Ingatlah bahwa kondisi yang demikian merupakan kondisi medis dan bukan tanda dari kelemahan seorang wanita, sehingga ibu tidak perlu merasa malu jika mengalami kondisi yang tidak menyenangkan tersebut!
Lalu, apa saja yang dapat dilakukan oleh ibu dan orang-orang disekitarnya saat menemukan bahwa gejala postpartum depression sedang terjadi? Pertama, berikanlah dukungan sosial dan emosional yang dibutuhkan ibu! Ibu dapat membicarakan perasaan-perasaan dan kekhawatiran ataupun ketakutan yang dimiliki secara terbuka kepada orang-orang terdekat, seperti suami, keluarga, ataupun teman. Selain itu, ibu atau orang terdekatnya dapat mencari informasi mengenai kelompok-kelompok yang memiliki pengalaman serupa (support group) sehingga sang ibu dapat berbagi pengalaman dengan mereka. Dan pastikan, ibu mendapatkan bantuan dari pihak profesional sehingga ia pun bisa mendapatkan penanganan dan perawatan yang dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi yang dialaminya. Jadi, Ibu tidak perlu ragu untuk mendatangi pihak-pihak professional untuk membicarakan masalah yang sedang dialami.
“Mom you deserve to be happy and enjoy your parenting-life! Get whatever help you need.”
Insert:
Siapa sajakah ibu yang lebih beresiko mengalami Postpartum Depression, dan bukan hanya baby-blues syndrome? Berikut adalah ciri-cirinya, kita yang memiliki teman dengan ciri-ciri ini perlu untuk sedikit lebih waspada:
- Pernah mengalami depresi atau postpartum depression sebelumnya.
- Ibu yang baru pertama kali memiliki anak.
- Dalam keluarganya, pernah ada yang memiliki gangguan psikologis.
- Pernah menggunakan narkoba dalam hidupnya.
- Mengalami komplikasi saat kelahiran.
- Kekurangan tidur.
- Bayi yang dilahirkan ternyata memiliki masalah kesehatan yang cukup serius.
- Tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari keluarga.
- Mudah stress.
Apa yang bisa dilakukan keluarga dan teman untuk membantu ibu yang mengalami Postpartum Depression:
- Memintanya untuk jangan sungkan bercerita mengenai apa yang dirasakan.
- Memberi bantuan dalam perawatan bayi.
- Menganjurkan (dan menyediakan) makanan yang sehat dan berenergi.
- Mengajak untuk banyak berolahraga. Jika masih dalam tahap penyembuhan, jalan ringan adalah pilihan olahraga yang tepat.
- Mencarikan support-group dari orang-orang yang pernah mengalami postpartum depression.
- Mengajak ibu untuk bertemu dengan psikolog.
Tentang penulis:
Novita Indriasari Psi. atau yang lebih akrab disapa dengan Opie adalah Psikolog muda lulusan Universitas Indonesia. Saat ini dia bekerja sebagai Associate Psychologist di ADR Advisory. Follow twitter Opie
di sini.
Sumber:
Bennet, Shoshana. (2009). Baby blues or postpartum depression? PsychologyToday.com. Diambil Mei 1, 2012 dari http://www.psychologytoday.com/blog/mommy-mental-health/200902/baby-blues-or-postpartum-depression.
Bennet, Shoshana. (2009). Helping your loved one with postpartum depression. PsychologyToday.com. Diambil Mei 1, 2012 dari http://www.psychologytoday.com/blog/mommy-mental-health/200901/helping-your-loved-one-postpartum-depression
Marano, Hara Estroff. (2002). Birth and the blues. PsychologyToday.com. Diambil Mei 1, 2012 dari http://www.psychologytoday.com/articles/200209/birth-and-the-blues?page=2
Levy, Mark. (2002). Moms who kill. PsychologyToday.com. Diambil Mei 1, 2012 dari http://www.psychologytoday.com/articles/200212/moms-who-kill
Barsky, Ilyene. (2009). Postpartum depression and the couple. Psychology.com. Diambil Mei 1, 2012 dari http://www.psychology.com/articles/?p=101
Dorlen, Rosalind.
Formichelli, Linda. (2001). Baby Blues: a mother’s worries during pregnancy can affect brain development in her child. PsychologyToday.com. Diambil Mei 1, 2012 dari http://www.psychologytoday.com/articles/200103/baby-blues