Riwayat Singkat
Jacques
Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap
sebagai tokoh penting post-strukturalis-posmodernis. Derrida lahir
dalam lingkungan keluarga Yahudi pada 15 Juli 1930 di Aljazair. Pada
tahun 1949 ia pindah ke Prancis, di mana ia tinggal sampai akhir
hayatnya. Ia kuliah dan akhirnya mengajar di École Normale Supérieure
di Paris. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di
Universitas Cambridge. Ia meninggal dunia karena penyakit kanker pada
2004.
Derrida
muda dibesarkan dalam lingkungan yang agak bersikap diskriminatif. Ia
mundur atau dipaksa mundur dari sedikitnya dua sekolah, ketika ia masih
anak-anak, semata-mata karena ia seorang Yahudi. Ia dipaksa keluar dari
sebuah sekolah, karena ada batas kuota 7 persen bagi warga Yahudi.
Meskipun Derrida mungkin tidak akan suka, jika dikatakan bahwa karyanya
diwarnai oleh latar belakang kehidupannya ini, pengalaman kehidupan ini
tampaknya berperan besar pada sikap Derrida yang begitu menekankan
pentingnya kaum marginal dan yang lain, dalam pemikirannya kemudian.
Derrida
dua kali menolak posisi bergengsi di Ecole Normale Superieure, di mana
Sartre, Simone de Beauvoir, dan mayoritas kaum intelektual serta
akademisi Perancis memulai karirnya. Namun, akhirnya ia menerima posisi
itu pada usia 19. Ia kemudian pindah dari Aljazair ke Perancis, dan
segera sesudahnya ia mulai berperan utama di jurnal kiri Tel Quel.
Karya
awal Derrida di bidang filsafat sebagian besar berkaitan dengan
fenomenologi. Latihan awalnya sebagai filsuf dilakukan melalui kacamata
Edmund Husserl. Inspirasi penting lain bagi pemikiran awalnya berasal
dari Nietzsche, Heidegger, De Saussure, Levinas dan Freud. Derrida
mengakui utang budinya kepada para pemikir itu dalam pengembangan
pendekatannya terhadap teks, yang kemudian dikenal sebagai
'dekonstruksi'.
Pada
1967, Derrida sudah menjadi filsuf penting kelas dunia. Ia menerbitkan
tiga karya utama (Of Grammatology, Writing and Difference, dan Speech
and Phenomena). Seluruh karyanya ini memberi pengaruh yang
berbeda-beda, namun Of Grammatology tetap karyanya yang paling
terkenal. Pada Of Grammatology, Derrida mengungkapkan dan kemudian
merusak oposisi ujaran-tulisan, yang menurut Derida telah menjadi
faktor yang begitu berpengaruh pada pemikiran Barat.
Keasyikan
Derrida dengan bahasa dalam teks ini menjadi ciri khas sebagian besar
karya awalnya. Sejak penerbitan karya-karya tersebut serta teks-teks
penting lain (termasuk Dissemination, Glass, The Postcard, Spectres of
Marx, The Gift of Death, dan Politics of Friendship), dekonstruksi
secara bertahap meningkat, dari memainkan peran utama di benua Eropa,
kemudian juga berperan penting dalam konteks filosofis Anglo-Amerika.
Peran ini khususnya terasa di bidang kritik sastra, dan kajian budaya,
di mana metode analisis tekstual dekonstruksi memberi inspirasi kepada
ahli teori, seperti Paul de Man.
Dekonstruksi
sering menjadi subyek kontroversi. Ketika Derrida diberi gelar doctor
honoris causa di Cambridge pada 1992, banyak protes bermunculan dari
kalangan filsuf “analitis.” Sejak itu, Derrida juga mengadakan banyak
dialog dengan filsuf-filsuf seperti John Searle, yang sering
mengeritiknya.
Bagaimanapun,
dari banyaknya antipati tersebut, tampak bahwa dekonstruksi memang
telah menantang filsafat tradisional lewat berbagai cara penting.
Derrida dianggap sebagai salah satu filsuf terpenting abad ke-20 dan
ke-21. Istilah-istilah falsafinya yang terpenting adalah différance dan
dekonstruksi.
Memposisikan Derrida
Tidak
mudah memahami pemikiran Derrida. Untuk memudahkan mempelajarinya, kita
coba menempatkannya dalam konteks pergeseran pemikiran pada era 1950-an
sampai 1970-an, dari modernitas ke posmodernitas, dan dari
strukturalisme ke post-strukturalisme. De Saussure, Chomsky, Jacobson
dan Levi-Strauss mewakili kalangan strukturalis-modernis. Sedangkan
Derrida bersama Lacan, Kristeva, Foucault, Barthes, dan Baudrillard,
“bisa dikatakan” mewakili post-strukturalis-posmodernis.
Pemikiran
kalangan posmodernis itu sendiri bisa dibagi tiga. Pertama, yang
merevisi pemikiran modernitas, namun cenderung kembali ke pola
pemikiran pra-modern seperti metafisika New Age. Tokohnya seperti
Capra, Zukav, dan sebagainya. Kedua, pemikiran yang merevisi modernisme
tanpa menolaknya mentah-mentah, melainkan melakukan perbaikan di
sana-sini yang dirasa perlu. Jadi, semacam kritik imanen terhadap
modernism, dalam rangka mengatasi konsekuensi negatifnya. Mereka di
antaranya: Habermas, Whitehead, Gadamer, Rorty, dan Ricoeur.
Ketiga,
pemikiran yang memandang bahwa sisi gelap dari modernitas bukanlah
sekadar efek samping dari pemikiran Pencerahan, melainkan sebagai
sesuatu yang melekat di dalamnya.[1] Para pemikir dari kalangan ini
terkait erat dengan dunia sastra dan linguistik. Mereka ingin melampaui
bahasa, yang secara tradisional dipandang sebagai cermin untuk
menggambarkan dunia atau realitas.
Caranya,
dengan melakukan dekonstruksi gambaran-dunia, sehingga cenderung
anti-gambaran-dunia sama sekali. Gambaran-dunia yang ingin dibongkar
itu, misalnya, adalah diri, Tuhan, tujuan, makna, kebenaran,
dunia-nyata, dan sebagainya. Para pemikir dari kelompok ini adalah
Foucault, Vattimo, Lyotard, dan Derrida.
Dari Oposisi Biner ke Metafisika Kehadiran
Untuk
memahami Derrida, kita mencoba melacak kronologi pemikirannya dari
strukturalisme Saussurean yang bernuansa modernitas tersebut. Menurut
paham strukturalisme, kenyataan tertinggi dari realitas adalah
struktur. Struktur itu sendiri adalah saling hubungan antar-konstituen,
bagian-bagian, atau unsur-unsur pembentuk keseluruhan, sebagai penyusun
sifat khas, atau karakter dan koeksistensi, dalam keseluruhan
bagian-bagian yang berbeda.
Bila
bahasa dilihat secara struktural, bisa disimpulkan bahwa bahasa bisa
ada karena adanya sistem perbedaan (system of difference), dan inti
dari sistem perbedaan ini adalah oposisi biner (binary opposition).
Seperti, oposisi antara penanda/petanda, ujaran/tulisan, langue/parole.
Oposisi
biner dalam linguistik ini berjalan seiring dengan hal yang sama dalam
tradisi filsafat Barat, seperti: makna/bentuk, jiwa/badan,
transendental/imanen, baik/buruk, benar/salah, maskulin/feminin,
intelligible/sensible, idealisme/ materialisme, lisan/tulisan, dan
sebagainya.
Dalam
oposisi biner ini terdapat hirarki. Yang satu dianggap lebih superior
dari pasangannya. Misalnya, jiwa diangap lebih mulia dari badan, rasio
dianggap lebih unggul dari perasaan, maskulin lebih dominan dari
feminin, dan sebagainya. Dalam linguistik Saussurean, lisan (ujaran)
dianggap lebih utama dari tulisan, karena tulisan dipandang hanya
sebagai representasi dari lisan.
Derrida,
seperti banyak teoritisi kontemporer Eropa, asyik berusaha membongkar
kecenderungan oposisional biner yang mewarnai sebagian besar tradisi
filsafat Barat tersebut. Dekonstruksi yang dicanangkan Derrida tidaklah
mengajukan sebuah narasi besar atau teori baru tentang hakikat dunia
kita. Ia membatasi diri pada membongkar narasi-narasi yang sudah ada,
dan mengungkapkan hirarki-hirarki dualistik yang disembunyikan.[2]
Oposisi
biner paling terkemuka, yang dibongkar dalam karya awal Derrida, adalah
antara ujaran (speech) dan tulisan (writing). Menurut Derrida,
pemikir-pemikir seperti Plato, Rousseau, De Saussure, dan Levi-Strauss,
semua telah melecehkan kata tertulis dan lebih mengutamakan ujaran,
dengan mengontraskan, dan menempatkan ujaran sebagai semacam saluran
murni bagi makna.
Argumen
mereka adalah kata-kata yang diucapkan adalah simbol dari pengalaman
mental (makna, kebenaran). Sedangkan kata-kata tertulis –sebagai
sekadar representasi dari ujaran-- hanyalah turunan kedua, atau sekadar
simbol dari simbol yang sudah ada (ujaran) tersebut. Ujaran menurut De
Saussure adalah kesatuan petanda (signifie) dan penanda (signifiant),
yang dianggap kelihatan menjadi satu dan sepadan, yang membangun sebuah
tanda (sign). Makna atau kebenaran adalah petanda, yaitu isi yang
diartikulasikan oleh penanda yang berupa suara/bentuk.
Kebenaran
yang semula berada di luar penanda (eksternal), kemudian menjadi lekat
dengan penanda itu sendiri dalam bahasa. Dia bisa hadir lewat penanda.
Kesatuan antara bentuk (penanda) dan isi (petanda) inilah yang disebut
Derrida sebagai metafisika kehadiran (metaphysic of presence).
Metafisika kehadiran, yang terkadang disebut logosentrisme, berasumsi
bahwa sesuatu yang bersifat fisik (penanda) dan yang melampaui fisik
(petanda) dapat hadir secara bersamaan, dan hal ini hanya mungkin dalam
ujaran, bukan tulisan.
Tanpa
mempersoalkan rincian tentang cara para pemikir itu menetapkan dan
membenarkan oposisi hirarkis semacam ini, penting untuk diingat bahwa
strategi pertama dekonstruksi adalah membalikkan oposisi-oposisi yang
sudah ada. Derrida menyangkal oposisi-oposisi biner semacam itu, dan
akhirnya juga menolak kebenaran tunggal atau logos itu sendiri.
Differance dan Difference
Dalam
karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan bahwa struktur
penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih tua”
ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri
(presence-to-self), yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan
lisan atau ujaran.
Sebagai
contoh, dalam keseluruhan bab Course in General Linguistics karya
Ferdinand de Saussure, Saussure mencoba membatasi ilmu linguistik hanya
pada fonetik (phonetic) dan kata yang bisa didengar (audible word).
Dalam penyelidikan ini, Saussure sampai mengatakan bahwa "bahasa dan
tulisan adalah dua sistem tanda yang berbeda: yang kedua eksis
semata-mata hanya untuk representasi dari yang pertama". Bahasa, tegas
Saussure, memiliki tradisi oral yang independen dari penulisan, dan
keindependenan inilah yang membuat sebuah ilmu murni ujaran
dimungkinkan.
Derrida
dengan berapi-api menolak hirarki ini. Derrida sebaliknya
berargumentasi bahwa semua yang bisa diklaim terhadap tulisan –seperti,
bahwa itu sekadar merupakan turunan (derivatif) dan hanya merujuk ke
tanda-tanda lain— sebenarnya juga sama berlaku terhadap ujaran.
Derrida
menyatakan bahwa signifikasi selalu merujuk ke tanda-tanda lain dan
kita tidak akan pernah sampai ke suatu tanda yang hanya merujuk ke
dirinya sendiri. Maka, tulisan bukanlah tanda dari sebuah tanda, namun
lebih benar jika dikatakan bahwa tulisan adalah tanda dari semua
tanda-tanda. Dan proses perujukan yang tidak terhingga (infinite) dan
tidak habis-habisnya ini tidak akan pernah sampai ke makna itu sendiri.
Inilah
pengertian “tulisan” yang ingin ditekankan Derrida. Derrida menggunakan
istilah arche-writing, yakni tulisan yang merombak total keseluruhan
logika tentang tanda. Jadi, tulisan yang dimaksud Derrida bukanlah
tulisan (atau tanda) sederhana, yang dengan mudah dianggap mewakili
makna tertentu.
Dilihat
dengan cara lain, tulisan merupakan prakondisi dari bahasa, dan bahkan
telah ada sebelum ucapan oral. Maka tulisan malah lebih “istimewa”
daripada ujaran. Tulisan adalah bentuk permainan bebas dari unsur-unsur
bahasa dan komunikasi. Tulisan merupakan proses perubahan makna
terus-menerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di luar jangkauan
kebenaran mutlak (logos).
Jadi,
tulisan bisa dilihat sebagai jejak, bekas-bekas tapak kaki, yang harus
kita telusuri terus-menerus, jika ingin tahu siapa si empunya kaki
(yang kita anggap sebagai makna yang mau dicari). Proses berpikir,
menulis dan berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut
Derrida sebagai differance.
Differance
adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya persis sama
dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari kata differer yang
bisa berarti “berbeda” sekaligus “menangguhkan/menunda.” Kita tak bisa
membedakan differance dan difference hanya dengan mendengar ujaran
(karena pelafalannya sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah
letak keistimewaan kata ini, yang sekaligus membuktikan tulisan lebih
unggul ketimbang ujaran, sebagaimana diyakini Derrida.[3]
Jika
kata terucap (ujaran) membutuhkan tulisan untuk bisa berfungsi secara
memadai, seperti ambiguitas dalam kata differance dan difference
tersebut, maka ujaran itu sendiri selalu berjarak dari setiap apapun
yang diklaim sebagai kejelasan kesadaran (clarity of consciousness).
Pernyataan Derrida ini secara tegas telah membantah habis argumen De
Saussure, yang berusaha memisahkan ujaran dan tulisan, dan melecehkan
tulisan sebagai sesuatu yang nyaris tidak dibutuhkan oleh ujaran.
Differance
adalah permainan perbedaan-perbedaan, jejak-jejak dari
perbedaan-perbedaan, dan penjarakan (spacing), yang dengan cara
tersebut unsur-unsur dikaitkan satu sama lain. Proses differance ini
menolak adanya petanda absolut atau “makna absolute,” makna
transendental, dan makna universal, yang diklaim ada oleh De Saussure
dan oleh pemikiran modern pada umumnya.
Menurut
Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan
(spacing), di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya
hanyalah selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada celah atau
kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah
ini membuat pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah
“kebenaran” ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak “kebenaran” lain
di depannya, dan begitu seterusnya.
Jadi,
apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang
“ada di depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan
pegangan. Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata
adalah ketidakpastian, atau permainan. Semuanya harus ditunda atau
ditangguhkan (deferred) sembari kita terus bermain bebas dengan
perbedaan (to differ). Inilah yang ditawarkan Derrida, dan
posmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian.
Penerapan dan Sistematika Dekonstruksi
Pada
awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks.
Dekonstruksi berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis
berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap teks-teks tertentu. Ia
berkomitmen pada analisis habis-habisan terhadap makna literal teks,
dan juga untuk menemukan problem-problem internal di dalam makna
tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan ke makna-makna alternatif, di
pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang diabaikan.
Dekonstruksi
menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi
(pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability),
yang mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh
si pengarang dalam teks yang ditulisnya.
Proses
penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang
diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang
dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat”
Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya
selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia
cari untuk didekonstruksi, sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan
di tempat yang berbeda.
Ini
juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu
dekonstruksi harus dilakukan dengan hati-hati. Ada suatu paradoks dalam
upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh
tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat untuk
mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk
membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif.
Penjelasan
ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida.
Adanya perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-karya awal
dan karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi
kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi
mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu.”
Namun,
ada ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya,
keseluruhan upaya Derrida dilandaskan pada keyakinannya tentang adanya
dualisme, yang hadir dan tak bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran
filsafat Barat.
Kekhasan
cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya
sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya
untuk kemudian dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen
yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks,
sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan,
unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang
memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan
filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan.
Oleh
karena itu, dalam metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan
dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan, dan oleh karenanya,
filsafat tidak pernah berupa ungkapan transparan pemikiran langsung.
Sebab, setiap pemikiran filosofis tentu disampaikan melalui sistem
tanda yang berkarakter material, baik grafis maupun fonetis. Dan sistem
tanda itu tentu juga tak hanya digunakan untuk kepentingan filosofis.
Filsafat
yang pada dasarnya adalah tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai
tulisan, dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan yang digunakannya.
Bahasa ingin digunakan sebagai sarana transparan untuk menghadirkan
makna dan kebenaran riil yang ekstra-linguistik, atau dalam istilah
kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul benar.
Sedangkan
tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya
penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda
tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik
teks-teks.
Sistematika
penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama,
mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya
terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan
mana yang tidak.
Kedua,
oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling
ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilesenya
dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang
ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama.
Dengan
langkah-langkah semacam ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari
pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari
teks, atau bahkan terkadang berusaha menemukan makna yang lebih benar,
yang teks itu sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan
pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan
setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.
Pengaruh Dekonstruksi terhadap Kajian Budaya
Dalam
kajian budaya, dekonstruksi Derrida memberi pengaruh penting. Berkat
dekonstruksi Derrida, makna kini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu
yang mutlak, tunggal, universal, dan stabil, tetapi makna selalu
berubah. Klaim-klaim kebenaran absolut, kebenaran universal, dan
kebenaran tunggal, yang biasa mewarnai gaya pemikiran filsafat
sebelumnya, semakin digugat, dipertanyakan, dan tidak lagi bisa
diterima.
Secara
sepintas, seolah-olah tidak ada tawaran “konkret” dari metode
dekonstruksi. Namun, yang dimaui oleh dekonstruksi adalah menghidupkan
kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks. Teks dan
kebudayaan tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna yang utuh,
melainkan sebagai arena pertarungan yang terbuka. Atau tepatnya,
permainan antara upaya penataan dan chaos, antara perdamaian dan
perang, dan sebagainya.
Dalam
kesusastraan, misalnya, dekonstruksi ditujukan sebagai metode pembacaan
kritis yang bebas, guna mencari celah, kontradiksi dalam teks yang
berkonflik dengan maksud pengarang. Dalam hal ini, membaca teks bukan
lagi dimaksudkan untuk menangkap makna yang dimaksudkan pengarang,
melainkan justru untuk memproduksi makna-makna baru yang plural, tanpa
klaim absolut atau universal.
Dalam
proses itu, penafsir juga tidak bisa mengambil posisi netral tatkala
menganalisis suatu teks tanpa dirinya sendiri dipengaruhi atau dibentuk
oleh teks-teks yang pernah ia baca. Teks itu sendiri juga tidak bisa
diasalkan maknanya semata-mata pada gagasan si pengarang, karena
pikiran pengarang juga merujuk kepada gagasan-gagasan pengarang lain
yang mempengaruhinya.
Dekonstruksi,
seperti juga pendekatan posmodernisme lainnya, dengan demikian cocok
dengan konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, banyaknya
wacana, penghargaan terhadap perbedaan, dan membuka diri terhadap yang
lain (the other).[4]
Penghargaan
terhadap perbedaan, pada “yang lain” ini membuka jalan bagi penghargaan
pada pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada masalah sejarah,
seni, politik, masyarakat, dan kebudayaan pada umumnya.
Penelitian
yang bersifat lokal, atau etnik, dan sebagainya kini mendapat tempat,
dan pada gilirannya akan memperkaya dan menghasilkan deskripsi atau
narasi-narasi khas masing-masing. Mungkin, inilah salah satu sumbangan
penting dekonstruksi Derrida terhadap kajian budaya.
0 comments:
Post a Comment